Back to December


.

you can consider this a continuation of my story 'love at fall' . it's just that the spotlight of the story shifts to a character whom once was just a help-out character :D


Part One

Celah kecil dari pintu auditorium yang setengah tertutup itu memang tidak menampilkan suasana auditorium dengan cukup jelas, namun baginya lumayanlah. Ia memang sudah melatih matanya agar terbiasa melihat dalam jarak yang cukup jauh. Setidaknya, cukup jauh untuk sepasang mata biru yang sayangnya harus dibingkai kacamata tebal.

Ia membuka halaman baru di buku sketsanya. Dengan pensil di tangan kirinya—karena ia memang pada dasarnya kidal—pemuda itu mulai menggambar dengan tekun. Matanya tak lepas dari pemandangan yang sudah memakannya waktu berhari-hari agar bisa digambar dengan sempurna.

Tidak sulit, karena pada dasarnya pemandangan itu sendiri memang sudah sempurna.

“Seth?”

“Ah! Iya,” Seth buru-buru menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh. Sedari tadi ia menyandarkan tangannya di pintu auditorium. Rupanya tanpa sadar ia malah melamun saat seorang gadis berambut cokelat ikal membuka pintu itu. Seth tersenyum malu pada gadis yang cukup dikenalnya itu, “Seravina.”

“Ya, latihan kami baru selesai,” Seravina menunjuk kedalam. “Kau sedang apa disini?”

“Aku...” Pipi Seth memanas saat tatapan mata gadis itu tertuju pada buku sketsa yang di genggamannya. Seravina menepuk pundak Seth sekali. “Mencari inspirasi, bukan? Biar kutebak, kau sedang menggambar sesuatu dengan inisial D dan huruf akhiran—“

“Sedang apa?” seorang pemuda bertubuh tinggi dan berwajah tampan muncul, menggandeng Seravina yang pada dasarnya jauh lebih pendek darinya. Seravina tertawa. “Ada kunjungan.”

“Oh, penonton setia kita,” gurau pemuda itu, Theo. Seth membuka tasnya dan memasukkan buku sketsa serta pensilnya kedalam. “Aku sebaiknya pergi.”

“Hei, jangan begitu terburu-buru,” cegat Theo. “Mau ikut makan bersama kami? Kita bisa berbincang-bincang. Destiny tidak bisa ikut karena harus menghadap dewan sekolah untuk merundingkan pertunjukan kami di hari Natal nanti. Kau bisa curhat pada kami sepuasnya. Bagaimana?”

Curhat? Seth bertanya-tanya dalam hati apa maksud Theo, tapi detik berikutnya semakin banyak orang sudah berkumpul. Seorang laki-laki bertubuh mungil dalam balutan pakaian flamboyan, lalu seorang laki-laki tinggi kurus yang datang dengan gadis berkacamata dan berwajah ramah. Mereka Abram, Rodd dan Rachel, anggota-anggota St. Salvatore Choir, klub musik sekolah St. Salvatore yang ternama di Louisiana itu.

Dan begitu Theo menyebutkan kata ‘kopi’, ‘donat’, dan ‘Seth’, Seth tiba-tiba sudah tenggelam dalam kelompok kecil itu dan diseret ke kafe terdekat dari sekolah mereka.

“Kenapa kalian menghilang begitu saja kemarin?” gerutu Destiny gusar. Rodd menghentikan permainan gitarnya dan tersenyum lebar. “Well, kami terlalu lapar untuk menunggumu, dan kemarin itu ada—eh—teman makan yang, kami rasa, takkan kau sukai.”

Please don’t let her find out...” gumam Rachel malas, tapi Destiny langsung berkata, “Si Seth itu?”

Theo tertawa keras. “Jangan pasang muka seperti ayam sembelihan begitu, Des. Kau tau? Kalau saja kacamata jeleknya itu dilepas, kalau saja ia sesekali mengunjungi gym dan kalau saja ia tidak berbicara dengan begitu tergagap-gagap, si Seth itu bisa menurunkan popularitasku. Dan Seravina bisa saja jatuh hati pada Seth.”

“Jangan konyol,” sambar Seravina sambil melayangkan tamparan di punggung Theo. Destiny tertawa pahit. “Jangan mengejekku. Seravina kan yang paling sering tampil di tengah-tengah panggung diantara kita ini, jadi kenapa aku yang digemarinya? Lalu geek seperti dia seharusnya lebih menyukai tipe-tipe pendiam seperti Rachel, tapi ia malah mengejar-ngejar aku.”

“Ia takut pada tongkat kayu yang menjaga Rachel itu,” ejek Abram tanpa melepaskan pandangan dari majalah Vogue-nya. Rodd tertawa. “Jangan mengalihkan pembicaraan. Destiny—kau yakin kau tidak tergerak sama sekali? Anak itu sudah membuntutimu selama dua semester.”

“Lalu?” tukas Destiny. “Kau tau benar aku belum pernah—dan belum mau—pacaran. Apalagi dengan seorang...”

“Sudahlah,” Seravina terkikik. “Kalau ia memang tidak mau, jangan mendesaknya. Kuharap kau tidak menyesal nantinya, Destiny.”

“Menyesal karena menolak pelukis amatiran yang nerdy dan pemalu seperti itu?” Destiny menggeleng-gelengkan kepalanya. “Give me a break.”

“Destiny.”

Destiny memutar tubuhnya dan mengalihkan pandangannya ke ambang pintu ruang musik yang terbuka dengan tiba-tiba. Di Jumat sore seperti ini, dimana ia biasanya merenung sendiri di ruang musik untuk merencanakan kegiatan klub, ia paling benci bila ketenangannya diganggu. Kalau yang merecokinya adalah Theo, Seravina, atau yang lainnya, Destiny masih bisa memaklumi. Tapi yang sekarang berada dihadapannya adalah pemuda bertubuh kurus kering dengan kemeja lengan panjang kuning kotak-kotak dan celana jeans yang sudah sangat out of date, menatapnya dibalik kacamata yang sedikit bengkok sambil tersenyum malu.

“Seth.”

“Aku... maaf mengganggumu. Tapi aku mau memberikan ini padamu,” Seth maju selangkah dan menyerahkan sebuah bungkusan yang dilapisi kertas kado bergambar teddy bear. Destiny menerimanya tanpa melunakkan sikapnya sedikitpun.

“Ini... bukan ulang tahunku, Seth.”

“Aku tau,” Seth membetulkan letak kacamataya dan berdeham. “Aku... akan pindah dari St. Salvatore di akhir minggu ini. Ayahku ditugaskan untuk bekerja di Paris, jadi aku akan ikut dengannya. Semua sudah diurus.”

Kalau Destiny punya empat serambi jantung saat ini, tiga serambinya bersorak penuh kemenangan. Akhirnya ia bisa kembali ke hari-hari dimana ia bisa mengitari St Salvatore dengan bebas, tanpa merasa terbebani oleh sosok yang selalu mengikutinya dan melukisnya diam-diam seperti ini. Satu serambi jantungnya yang tersisa merasa iri karena Seth bisa pindah ke Paris. Paris, Perancis! Kota yang dianggap kota mode, kota fashion dunia! Sayangnya seseorang seperti Seth pasti tidak akan menganggapnya sesuatu yang penting.

“Terima kasih, kalau begitu,” ucap Destiny pelan. “Dan Seth—“

“Ya?”

“Aku tidak akan pernah menyukaimu. Sadarlah. Dan kuharap saat kau di Paris, kau akan melupakan aku. Bagaimana?”

“K-kenapa?” Penyakit gagap Seth kembali melanda lagi. Dan lagi, “K-kenapa, Destiny? Apa aku terlalu—rendah—untuk seorang gadis sepertimu?”

“Jangan bicara seperti itu,” tukas Destiny. “Kau bukan tipeku. Itu saja.”

“Tipe...” gumam Seth. “Memang seperti apa tipemu? Seperti Theo? Atau Rodd? Aku bisa mengusahakannya.”

Destiny merengut, lalu menggeleng. “Kau tau aku. Aku melakukan segalanya sendirian. Mendapat prestasi yang tidak henti-henti, memimpin klub musik St. Salvatore, memenangkan kejuaraan—kalau ada seorang laki-laki yang bisa membuatku merasa aku tidak bisa melakukan apapun tanpa dia, dialah tipeku.”

“Tak heran aku tak pernah melihatmu berkencan selama disini,” komentar Seth. “Selama hidupku,” koreksi Destiny. Ia tersenyum. “Sudahlah, Seth. Semoga hidupmu di Paris menyenangkan.” Sambil memegang bungkusan yang diberikan Seth dengan gaya seseorang yang hanya memegang kantung sampah, Destiny meninggalkan ruangan itu dengan perasaan lega.

Miss Independent

Mau tak mau Destiny tersenyum kecil membaca judul yang diberikan Seth pada gambarnya. Ya, bungkusan yang diberikan Seth ternyata berisi gambar diri Destiny diatas secarik kertas putih yang sederhana. Gambar itu tidak diwarnai, hanya diarsir dengan pensil, namun Destiny mau tak mau memandang tinggi gambar wajahnya itu. Sepertinya Seth melukisnya seusai Destiny berlatih, karena di gambar itu rambut Destiny lebih berantakan dari biasanya dan baju seragamnya dikeluarkan dari roknya. Destiny membalik kertas itu. Selain mencantumkan alamat emailnya (yang sama sekali tak dianggap penting oleh Destiny), ia juga menemukan beberapa patah kata yang ditulis Seth dalam huruf sambung.

When I see your face,

There’s not a thing that I would change,

‘Cause you’re amazing,

Just the way you are...

“Sangat pasaran,” cibir Destiny. Suara microwave oven-nya yang berdenting tiba-tiba mengejutkannya, sehingga Destiny langsung menyimpan kertas itu diantara tumpukan kertas-kertas lainnya didalam laci belajarnya.

Makaroni santapannya malam ini lebih penting daripada hadiah dari seorang pemujanya yang sebentar lagi akan berada di seberang lautan.

Part Two

Empat tahun kemudian

As usual, a successful concert. Semua tiket terjual habis dan beberapa yang tidak berhasil mendapatkan tiket masih nekat menerobos. Ini benar-benar gila,” Rachel menjatuhkan diri di sofa kecil dalam ruangan itu sambil mendesah panjang. Destiny duduk di hadapan cermin dan melepaskan anting serta kalungnya. Abram dengan sigap mengambil botol berisi make-up eraser dan mulai membersihkan wajah Destiny.

Empat tahun sudah berlalu, dan kini Destiny sudah melewati masa sekolah dan menjadi penyanyi terkenal. Walaupun mimpi itu sempat diragukannya karena ia lebih terbiasa bekerja dibalik layar dan bukannya tampil sebagai bintang utama, akhirnya ia membuktikan kemampuannya. Nama Destiny Hills menjadi pembicaraan dimana-mana dan kini satu lagi konsernya sudah dilaksanakan dengan sukses. Kali ini Destiny memilih Louisiana, kampung halamannya, sebagai tempat konsernya dilaksanakan.

Untuk sekedar memberitahu saja, Abram akhirnya menjadi make-up artist serta costume consultant setia Destiny. Teman-temannya yang lain terkadang masih menyempatkan diri untuk menghadiri konsernya, meskipun sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

“Permisi,” seorang wanita berwajah serius masuk kedalam dressing room. Ia membawa walkie talkie dan mengenakan setelan hitam. “Miss Hills, ada yang ingin bertemu dengan Anda.”

“Ya?” Destiny menoleh. Wanita itu menjawab, “Katanya namanya Seth McHale. Teman lama Anda yang baru kembali dari Perancis.”

Seth? Nama itu mengitari otak Destiny, mencari ruang yang tepat tempat sebersit kenangan tentang nama itu mungkin masih tersimpan. Tiba-tiba Destiny terperanjat, menatap kedua temannya. Mereka saling bertukar kalimat, “Kalian ingat? Kalian ingat?”

Terakhir kali Destiny bertemu dengan mantan teman sekolahnya itu adalah di ruang musik, saat Seth berkata akan pindah ke Paris dan memberikan hadiah khusus untuk Destiny. Destiny tidak tau dimana ia menyimpannya sekarang, tapi ia mengingat jelas betapa indahnya lukisan yang diberikan Seth untuknya. Perasaan benci yang dulu hadir dalam jiwa Destiny yang masih kekanak-kanakan langsung luntur. Ia berkata, “Judy, biarkan ia masuk.”

Pertama-tama muncul sebuah buket bunga mawar, lalu detik berikutnya sesosok pemuda bertubuh tinggi dan tegap melangkah masuk. Matanya biru jernih, rambutnya hitam dan wajahnya terlihat bersahabat dan ramah. Ia mengenakan kaus lengan panjang berwarna biru pucat serta celana panjang. Tanpa memedulikan tiga pasang mata yang menatapnya dengan terkejut, ia meletakkan buket bunga mawar itu di meja rias Destiny.

“Ingat aku?”

“Apa yang terjadi padanya?” Destiny duduk dengan kaki bersila di apartemen tempatnya dulu tinggal, masih bersama Abram dan Rachel. Apartemen itu lebih sering kosong daripada ditempati, tapi Destiny tidak menjualnya karena di saat-saat kembali ke Louisiana seperti sekarang, ia tetap menginap disini.

Abram mengusap rambutnya. “Well, seperti yang kalian tau, Paris adalah kota mode. Seorang geek seperti dia sekalipun bisa berubah drastis setelah mencium udara segar kota asalku itu.”

“Sadarlah,” Rachel mengetuk kepala Abram sambil tertawa. “Tapi—ia benar juga, Des. Nah... jujur saja, ia terlihat keren sekarang. Jauh lebih keren dari Rodd yang tak pernah mengubah gayanya sejak lulus SMA.”

Destiny tertawa mendengar perbandingan Rachel. Setelah kedua temannya pulang, Destiny membuka lacinya dan menemukan secarik kertas yang sudah menguning. Entah darimana, tapi ia teringat pernah menyimpan kertas pemberian Seth dalam laci ini.

“Aku nyaris tak mengenalimu lagi,” ucap Destiny sambil tertawa kecil. Ia duduk di kafe kecil dekat apartemennya bersama Seth, yang, tentu saja, sangat berbeda dengan Seth yang membuntutinya empat tahun yang lalu. “What has Paris done to you?”

“Yah... sedikit perubahan disana-sini, itu saja,” jawab Seth pendek. Destiny membalasnya dengan satu senyuman. Kenapa tiba-tiba saja ia merasa isi kepalanya berdengung dan panas?

“Kapan kita bisa bertemu lagi?” kata Seth ramah. Pertanyaan itu malah membuat Destiny senang. “Aku? Ya, kapan saja. Aku masih akan di Louisiana selama seminggu. Jadi—“

“Aku akan mengenalkanmu pada Selene.”

“Pada siapa?”

“Selene. Teman sekolahku semasa di Paris. Dialah yang—ermm—merombakku seperti ini. Ia akan menyusulku kemari besok. Kurasa ia akan cocok denganmu. Kalian berdua memang mirip—berambut pirang, menarik, selalu percaya diri, dan—sangat... solitary.”

“Mengerjakan segala sesuatu sendirian tanpa butuh orang lain?” gumam Destiny, teringat pada percakapan mereka sebelum Seth pergi ke Paris. Tapi kenapa kenyataan bahwa Seth sekarang sudah memilikki kekasih malah membuat Destiny lemas?

Destiny menutup bukunya dengan kasar dan melemparkannya ke samping ranjang. Buku itu tempat Destiny menyimpan lagu-lagu karangannya sendiri—buku penuh coretan, robekan kertas, dan tulisan tangan yang kasar—namun dari buku itulah lagu-lagu Destiny yang mendunia diciptakan. Di saat-saat ia bebas jadwal seperti sekarang biasanya Destiny bisa menulis banyak lagu sekaligus, tapi sekarang ia sudah melewati tiga hari tanpa mampu menuangkan sebait lirik pun.

“Memang seperti apa tipemu? Aku bisa mengusahakannya.”

“Kalau ada seorang laki-laki yang bisa membuatku merasa aku tidak bisa melakukan apapun tanpa dia... dialah tipeku.”

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Destiny, ia mengenal kata penyesalan dengan cara yang tak diinginkannya.


”Destiny pasti senang sekali karena kalian semua menyempatkan diri datang ke konser terakhirnya sebelum tur ke Eropa.”

“Ya, Bram. Kalau dia senang, dia takkan menyembunyikan diri dari kami semua,” gerutu Seravina sebal. Abram menjauh dari pintu dressing room yang tertutup dan berbisik, “Sebenarnya Destiny sedang dalam kondisi yang—eh—menyedihkan.”

Teman-temannya mendekat, dan Abram menceritakan kisah singkat kembalinya Seth ke Louisiana. Theo menanggapinya dengan tertawa keras-keras. “Aku tak percaya,” serunya. “Akhirnya ada yang bisa membuat si kepala batu, si hati beku itu hancur berkeping-keping dan menangis.”

“Jangan melebih-lebihkan fakta,” Rodd ikut tertawa. “Dan kurasa Seth akan hadir di konsernya malam ini, bukan?”

Abram berkedip. “Tepat sekali.”

Destiny berlari kembali ke tengah panggung. Ia sudah menyelesaikan empat lagu hits-nya yang semuanya melibatkan lompatan, tarian, dan gerakan lincah. Kini dengan sedikit terengah-engah, Destiny menggenggam mikrofon di mike stand sementara sebuah lampu sorot putih menyinari sosoknya. Para penonton terdiam, menunggu kejutan dari Destiny selanjutnya.

“Lagu berikutnya kuberikan untuk seorang teman yang kukenal empat tahun yang lalu,” ucap Destiny dengan lancar dan terus terang seperti biasa. Beberapa penonton mengucapkan ‘uh’ dan ‘wow’ dengan iseng, dan Destiny tersenyum kecil meresponi mereka. “Teman itu mengajariku untuk menghargai apa yang saat ini ada disamping kita—tak peduli betapa menyebalkan, betapa mengganggu, dan betapa... betapa bodohnya hal itu.”

“Dan lebih dari itu semua, teman itu mengajariku kalau aku... I’m amazing just the way I am.” Destiny berhenti sebentar. Ia melihat sosok Seth ditengah-tengah kerumunan penonton di baris depan. Ia berbisik di mikrofonnya, “Terima kasih.”

Intro lagu yang jelas-jelas ber-genre country itu membawa dua pengaruh bagi para penonton. Pertama, mereka cukup bersemangat karena yang memimpin background music lagu itu adalah Rodd, salah satu gitaris paling terkenal di seluruh Amerika dan bahkan di seluruh dunia. Banyak kabar menyebutkan kalau Rodd dan Destiny adalah teman akrab. Penampilan Destiny kali ini membuktikan kebenaran kabar itu. Yang kedua, di sisi lain mereka cukup kecewa karena mereka yakin lagu country sama sekali bukan lagu Destiny. Kalau begitu Destiny pasti menyanyikan lagu penyanyi lain.

I'm so glad you made time to see me
How's life? Tell me how's your family
I haven't seen them in a while…


I've been good, busier than ever
We small talk, work and the weather
Your guard is up and I know why…

'Cause the last time you saw me
Is still burned in the back of your mind
You gave me roses and I left them there to die…

Destiny menggenggam mikrofonnya lebih keras saat ia memasukki refrain lagu itu. Ia harap, Seth menangkap kata-katanya di bait ini.

So this is me swallowing my pride,
Standing in front of you saying ‘I'm sorry for that night’…
And I'd go back to December all the time…
It turns out freedom ain't nothing but missing you,
Wishing that I'd realized what I had when you were mine…
I'd go back to December, turn around and make it alright…
I go back to December all the time…

Bulan Desember empat tahun lalu memang saat terakhir ia bertemu Seth. Saat Seth memberikan lukisan wajahnya yang dibuat Seth khusus untuknya. Saat Seth berkata ia bisa berusaha menjadi laki-laki seperti yang Destiny inginkan. Saat Destiny menegaskan bahwa ia takkan menyukai Seth, dan bahwa Seth harus bisa melupakannya saat berada di Paris…

These days, I haven't been sleeping,
Staying up playing back myself leaving,
When your birthday passed and I didn't call…


And I think about summer, all the beautiful times
I watched you laughing from the passenger side,
Realized I loved you in the fall…


And then the cold came, the dark days when fear crept into my mind,
You gave me all your love and all I gave you was goodbye…


Ternyata semua permintaannya pada Seth saat itu sudah dikabulkan. Seth sudah melupakan Destiny. Seth sudah menemukan pengganti Destiny, seseorang yang menerima Seth apa adanya, seseorang yang berhasil membuat Seth melupakan sifat pemalunya itu…

I miss your tan skin, your sweet smile, so good to me, so right…
And how you held me in your arms that September night,
The first time you ever saw me cry…


Maybe this is wishful thinking,
Probably mindless dreaming,
If we loved again I swear I'd love you right…

I'd go back in time and change it ,

But I can't…
So if the chain is on your door, I understand…


Tanpa disadari Destiny, seluruh penonton ikut melambaikan tangan mereka mengikuti tempo lamban lagu Taylor Swift yang dinyanyikannya itu. Sekilas, Destiny melihat wajah Seth. Seth berdiri disamping Selene, namun tatapan mata Seth tertuju pada Destiny. Bukan tatapan mata Seth yang lama, tatapan yang sudah pernah diberikan belasan laki-laki lain pada Destiny, tatapan yang membuat Destiny merasa ia tak membutuhkan mereka, melainkan merekalah yang membutuhkannya. Tatapan Seth saat ini berbeda. Tatapan Seth lebih-kurang berarti, “Aku sudah berhasil melupakan perasaanku padamu, seperti yang kau minta dulu. Kuharap kau senang…”

But this is me swallowing my pride,
Standing in front of you saying ‘I'm sorry for that night’…
And I'd go back to December…


It turns out freedom ain't nothing but missing you,
Wishing that I'd realized what I had when you were mine…
And I’d go back to December, turn around and make it alright…
And I’d go back to December, turn around and change my own mind…
And I go back to December all the time…


Tepuk tangan panjang mengakhiri lagu itu. Destiny tersenyum pada penggemar-penggemarnya, sambil berharap rasa menggelitik yang tiba-tiba dirasakannya di kedua pipinya bukanlah karena aliran air mata.

[based on: Back to December – Taylor Swift]

you never know what you got til it's gone; you never know what you miss til it arrives :))

Post a Comment