Passion


.

“I need to focus on dreams I can make come true.”

-Glee-

“Hadirin, itulah ‘Air’ oleh J.S Bach, sekali lagi, sambutlah—Alexander de Luca!”

Tepuk tangan dan sorak sorai membahana di auditorium besar itu. Penonton yang meramaikan suasana itu kebanyakan merupakan pria dan wanita dalam balutan pakaian rapi, resmi, anggun dan elegan yang langsung bisa menasfirkan status mereka kepada semua orang yang melihat mereka—bangsawan. Konser yang sedang diadakan di auditorium itu adalah konser orkestra klasik. Peserta-pesertanya, tentu saja, adalah musisi-musisi ternama dan tidak sembarang orang bisa menghadiri konser besar seperti ini.

Pemuda yang berdiri diatas panggung itu membungkuk kepada hadirin dan meninggalkan panggung. Ia menyingkapkan tirai yang memisahkan panggung dengan backstage, lalu terduduk diatas sofa sambil menyeka keringat yang membasahi dahinya.

“Kakak!”

Seorang gadis kecil menghampiri pemuda itu dan duduk di pangkuannya. Ia menandak-nandak. “Penampilan kakak tadi bagus sekali! Suatu hari nanti, aku ingin sehebat kakak.”

Pemuda itu tersenyum dan mencium pipi gadis itu. Gadis itu kembali menepuk-nepuk lengan kakaknya. “Kakak mau kan mengajariku piano?”

“Tentu saja,” pemuda itu merangkulnya. “Aku berjanji, aku akan membuatmu menjadi pianis yang luar biasa.”

1

Sebuah gerbang hitam dengan ukiran-ukiran indah memisahkan jalan raya dengan rumah yang lebih mirip istana mungil itu. Rumah itu sangat besar, dengan warna dasar abu-abu muda dan taman di halaman depannya yang luas, memberi kesan mewah dan anggun pada rumah itu. Suara gemericik dari air mancur yang menyenangkan juga menghiasi rumah itu. Sudah jelas, rumah itu merupakan rumah termegah di tengah-tengah perumahan elit itu. Rumah yang langsung bisa membuat siapapun yang melihatnya, melanggar hukum taurat Alkitab yang kesepuluh.

Ia melepaskan pandangan dari rumah itu. Sepertinya ia sudah termenung terlalu lama. Sambil mengumpulkan kepercayaan dirinya yang sempat hilang setelah mengetahui wujud tempat tujuannya ini, ia membuka pintu mobil dan melompat turun.

Ia menekan tombol bulat kecil di dinding luar rumah itu. Tak lama kemudian, gerbang rumah itu menggeleser ke dua arah yang berlawanan, memberi ruang untuknya masuk. Dengan satu tangan di saku celana, ia memasukki rumah itu dan berhenti di pintu depannya. Sebuah pintu besar berwarna putih dengan gagang yang dilapisi emas.

“Selamat sore,” seorang pria setengah baya bersetelan hitam rapi menyambutnya. “Sir Keith?”

“Itu aku,” Keith mengangguk sambil tersenyum sopan. Pria itu membungkuk sedikit. “Silakan masuk.”

Keith mendapati dirinya berada di sebuah ruang tamu yang ukurannya mungkin sudah sebesar rumahnya sendiri. Ruang tamu itu luas, dengan sofa-sofa berwarna cokelat tua. Selain itu masih ada koleksi vas dan guci, serta meja bundar rendah yang terletak di depan sofa. Warna ruang tamu itu menyenangkan—kuning keemasan karena sinar yang dipancarkan lampu kristal berbentuk berlian yang tergantung di langit-langit. Rupanya pemilik rumah ini menyukai perabotan-perabotan mewah.

“Terima kasih sudah datang, Sir Keith,” suara seorang wanita membuyarkan lamunan Keith. Keith menoleh dan menemukan seorang wanita bertubuh tinggi dengan rambut hitam yang disanggul serta nada bicara yang kebangsawanan tersenyum padanya. “Aku Hilda de Luca, kau boleh memanggilku Mrs de Luca atau Mrs Hilda saja. Silakan duduk. Mau kopi?”

“Tidak, terima kasih,” tolak Keith sopan. Awalnya ia merasa tuan rumah ini pastilah keluarga elit yang congkak, tapi ia tak mendapati sedikitpun kesan congkak pada wajah wanita ini. Keith memang tidak bisa dibilang senang ketika Nicole, atasannya, menugaskannya menjadi guru piano untuk satu murid baru. Kalau murid baru itu seperti murid-murid Keith yang lain, yang datang ke tempat kursus musik milik Nicole, ia tak keberatan. Tapi ia heran mendengar ada seorang murid yang bisa-bisanya meminta Keith datang secara khusus ke rumahnya untuk belajar piano. Padahal Nicole sama sekali tidak menggaji Keith sebagai guru privat.

“Ah, ternyata Nicole benar soal sikapmu yang selalu penuh karisma,” tutur wanita itu, membuat Keith semakin tidak bisa kesal pada atasannya yang memang sangat baik hati itu. Wanita itu sendiri adalah teman baik Nicole. “Tunggu sebentar, ya? Aku akan menjemput Laverne.”

Menjemput? Keith tercengang. Mungkin perilaku murid barunya tak sebaik ibunya ini.

Keith menunggu cukup lama di ruang tamu. Tapi tiba-tiba ia mendengar suara roda berderik pelan. Segala prasangkanya langsung runtuh ketika melihat Mrs Hilda kembali sambil mendorong sebuah kursi roda. Dan diatas kursi roda itu duduk seorang gadis yang tampak seolah ia tak pernah mengenal kata cela seumur hidupnya.

“Keith,” ujar Mrs Hilda, “ini putriku Laverne. Kuharap kau cukup sabar mengajarnya. Ia tak pernah belajar musik selama ini, tapi ia sangat ingin bisa bermain piano.”

“Iya, supaya aku bisa seperti Alex,” tambah Laverne sambil tersenyum kecil. Keith hanya bisa mengangguk dengan kikuk. Mrs Hilda kembali mendorong kursi roda Laverne. “Ayo ikut aku, Keith.”

Mrs Hilda membawanya ke ruangan yang bersambungan dengan ruang tamu tadi, kali ini lebih kecil. Bentuknya bundar dan hanya ada perabotan yang sangat sedikit di ruangan itu. Ada sebuah grand piano putih di tengah-tengah ruangan itu, lalu ada meja kaca tanpa hiasan apa-apa di sudut. Ruangan itu terang benderang karena jendelanya sangat besar dan menampilkan pemandangan halaman depan rumah itu.

“Aku tinggal,” kata Mrs Hilda. Keith menatap Laverne dengan ragu-ragu. Akhirnya ia mendorong kursi piano putih itu ke samping agar kursi roda Laverne bisa diletakkan tepat di tengah. Setelah pekerjaan itu selesai, Keith duduk di kursi piano.

“Kita mulai dengan perkenalan singkat saja,” ucap Keith ramah. “Kau boleh memanggilku Sir Keith—atau Keith saja, aku tidak keberatan. Berapa umurmu, Laverne?”

“Satu bulan menuju 18 tahun,” jawab Laverne. 18? Keith memerhatikan Laverne diam-diam. Laverne bukan hanya berwajah cantik—tapi parasnya sama sekali tidak mirip seorang gadis 18 tahun. Rambut hitam lurusnya menutupi bahu serta keningnya. Matanya yang biru besar tampak begitu polos. Ia mengenakan gaun putih sederhana dan cara bicaranya pun begitu lemah lembut, sehingga Keith merasa sedang berhadapan dengan seorang malaikat kecil.

“Ah. Aku 24 tahun. Kurasa tidak apa-apa kalau kau memanggilku Keith saja,” kata Keith. “Pertanyaan berikutnya—kenapa kamu ingin belajar piano?”

“Supaya aku bisa seperti Alex,” jawaban itu diterima Keith secara langsung. Tanpa menunggu ditanyai lebih lanjut, Laverne bercerita, “Alex itu kakakku. Dia sangaaat jago main piano. Ia pianis terkenal. Masa’ kau tidak pernah mendengar cerita tentangnya? Alexander de Luca?”

“Oh, jadi kakakmu Alexander de Luca?” seru Keith langsung. Tentu saja ia pernah mendengar nama itu. Alexander de Luca pianis terkenal, alumni sekolah musik besar di Italia yang lulus di usia yang masih sangat muda. Ia terkenal di kalangan penikmat musik klasik, terutama piano. “Tentu saja aku sering mendengar cerita tentangnya—beberapa tahun yang lalu. Sekarang aku nyaris tak pernah mendengar namanya lagi.”

“Ya, memang,” tiba-tiba jawaban Laverne menjadi sangat singkat. Ia menunduk, menatap piano itu. Keith menjentikkan jarinya. “Kalau begitu kita mulai belajar saja, ya? Dari dasarnya saja. Bisa memainkan tangga nada?”

Laverne menggeleng.

“Seperti ini,” Keith menggeser tubuhnya sedikit dan meletakkan tangan kanannya di tuts C dasar. Ia mulai memainkan tangga nada C satu kali, lalu satu kali lagi dengan tangan kirinya. “Sederhana sekali, kok. Giliranmu.”

Meskipun temponya jauh lebih lambat, tapi Keith cukup kaget karena Laverne sangat cepat menguasai pelajaran. Di akhir pertemuan mereka Keith sudah mengajari pelajaran yang biasanya baru bisa dikuasai seorang murid setelah dua-tiga kali pertemuan.

“Kau sangat cepat belajar,” puji Keith sambil melirik jam tangannya. 45 menit sudah berlalu. Ia berdiri. “Sampai disini dulu. Minggu depan, kita akan mulai bermain lagu.”

“Bolehkah aku memilih sendiri lagunya?” tanya Laverne penuh minat. Keith meletakkan tangannya di bahu Laverne dan menepuknya dengan lembut. “Tentu saja.”

Ia mendorong kursi roda Laverne kembali ke ruang tamu. Mrs Hilda sudah menunggu. “Terima kasih banyak, Keith,” senyumnya sambil menjabat tangan Keith. Keith merasakan sebuah permukaan dingin menyentuh tangannya. Selembar pecahan $100. “Eh, Ma’am—“

“Nicole takkan keberatan kalau pendapatanmu kutambah sedikit,” kata Mrs Hilda setengah berbisik. “Aku tau mengajari Laverne pasti tidak mudah.”

“T-tidak juga,” bantah Keith. “Laverne sangat berbakat, kurasa pendengaran dan perasaannya sudah cukup peka pada nada-nada.”

“Ya, ia sering menonton konser kakaknya dulu,” terang Mrs Hilda. “Sonya?” Ia berpaling pada seorang pelayan wanita yang sedang kebetulan lewat. “Tolong antar Laverne ke kamarnya, ya? Biarkan dia istirahat.”

“Ya, Ma’am.”

“Keith,” Laverne tiba-tiba meraih tangan Keith saat kursi rodanya melewati Keith. Tiba-tiba saja Keith merasakan darahnya berdesir cepat dibawah kulitnya. “Terima kasih banyak.”

“S-sama-sama,” lidah Keith terasa kelu saat mengatakannya. Ah, konyol! Laverne kan hanya anak kecil, tak lebih dari itu. “Sampai ketemu minggu depan... Laverne.”

2

Suara langkah kaki Keith merupakan satu-satunya suara yang mengisi koridor rumah sakit yang sunyi itu. Saat itu sekitar pukul 7 malam dan selain Keith sendiri, koridor itu sama sekali kosong. Satu orang suster pun sama sekali tidak terlihat. Keith mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah seluruh dunia sudah bebas dari segala macam penyakit. Tapi harapan itu luluh lantak saat ia tiba di depan sebuah pintu kamar yang tertutup. Pintu itu berjendala panjang dan sempit sehingga Keith bisa melihat langsung pemandangan dalam kamar itu.

Kepala berambut pirang itu masih terbaring lemah, terlelap. Keith membuka pintu kamar rawat itu perlahan-lahan dan melangkah masuk.

Lengan, bibir dan seluruh tubuh Keira masih pucat seperti hari-hari sebelumnya. Selang infus melilit hidung dan tangannya. Dahinya membentuk kerutan yang menandakan bahwa tidur Keira sama sekali tidak tenang—tidur yang disebabkan obat-obatan memuakkan itu lagi, pikir Keith dalam hati. Keith mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menahan air matanya yang nyaris mengalir. Ia meraih sebelah lengan Keira.

“K-Keith?”

Keira terbangun. Kedua mata kelabu itu menatapnya. “Ini kan sudah lewat jam besuk, Keith.”

“Benarkah?” Keith tertawa kecil. “Oh, aku tidak terlalu peduli. Aku hanya ingin bertemu sunshine-ku ini.”

Well, hari ini sunshine-mu tak terlalu cerah,” gurau Keira. Keith berusaha menerka-nerka keadaan Keira dibalik senyum manisnya dan ekspresinya yang seolah-olah tak merasakan sakit sama sekali. Tapi Keith sendiri tau, selain menjadi seorang pelukis yang sangat handal, kekasihnya itu juga seorang aktris handal. Tapi menunjukkan gambaran ‘aku-baik-baik-saja’ padanya sementara menderita leukimia seperti itu—untuk kesekian kalinya Keith mulai berharap ia bisa menggantikan tempat Keira.

“Makanya, kau harus istirahat,” ujar Keith sungguh-sungguh. “Kau pasti bisa sembuh, Keira. Dan setelah kau sembuh, kita akan memulai hidup kita—bersama-sama.”

Keira tak menjawab, hanya tersenyum di tempat tidurnya. Keith meremas tangannya. “That’s my passion.”

Keira menatapnya dalam-dalam. “Kau harus memusatkan hatimu pada passion yang bisa dicapai,” katanya singkat. Matanya mulai terpejam dan tak lama kemudian, nafasnya menjadi teratur. Keith berdiri di tempatnya cukup lama. Hatinya tak henti-henti membisikkan kalimat pada sosok yang—meskipun ia tak begitu mengenal dan mengerti tentangnya—tapi setidaknya ia tau kalau ada suatu kekuatan yang terdapat dalam sosok itu, kekuatan yang memahami kejadian apapun yang terjadi dalam hidupnya.

Sembuhkan Keira. Sembuhkan Keira. Tuhan, sembuhkan Keira...

Tiga minggu kemudian

“Keith, aku akan pergi,” kata Mrs Hilda saat Keith tiba di rumahnya. Sore itu Mrs Hilda mengenakan atasan hitam, celana panjang dan syal merah. Rambutnya disanggul seperti biasa dan ia mengenakan sepasang sepatu Prada hitam mengkilap yang masih berbau toko. “Setelah kau selesai dengan Laverne, kau boleh pulang saja.”

“Baiklah kalau begitu,” angguk Keith mengerti. Sonya, si pelayan rumah, mendorong kursi roda Laverne ke ruang piano.

“Kau sudah belajar mencari kunci seperti yang kuajarkan?” tanya Keith sambil berdeham. Minggu lalu ia sudah mengajarkan kunci-kunci dasar kepada Laverne. Dan karena ia tau benar bahwa kekuatan Laverne adalah pada kepekaan pendengarannya, ia yakin Laverne takkan kesulitan mencari kunci untuk lagu apapun. Dan seperti dugaannya, Laverne mengangguk.

“Kurasa kunci-kuncinya benar... tapi aku tidak bisa memainkan nadanya sebagus kau ketika memainkan lagu,” ucapnya pelan-pelan. “Aku hanya bisa menekan satu tuts di tangan kiri dan full chord di tangan kanan, itu saja.”

“Kau selalu bisa belajar,” senyum Keith. “Nah, kalau begitu, biar kudengar. Lagu apa yang akan kau mainkan?”

Laverne menatapnya cukup lama. Lalu, “Aku tidak bisa menggunakan pedal itu.” Ia menunjuk ke tiga pedal di bawah pianonya. Keith terdiam. Memang nyaris tidak mungkin seorang pianis lumpuh bermain dengan mengandalkan pedal piano. Keith menepuk pundaknya. “Untuk saat ini aku akan membantumu.” Untuk membuktikan perkataannya, ia memosisikan kaki kanannya di pedal sustainer. “Ayo.”

Dengan sedikit gugup, Laverne menekan kunci pertama.

I dreamed a dream in time gone by…
When hope was high and life worth living…
I dreamed that love would never die;
I dreamed that God would be forgiving…

Then I was young and unafraid,
And dreams were made and used and wasted…
There was no ransom to be paid…
No song unsung no wine untasted…

Keith tercengang mendengar permainan Laverne yang ternyata sempurna. Meskipun lagu itu terdengar sangat kosong karena yang Laverne lakukan hanyalah menekan satu kunci sekali, Keith cukup yakin kalau Laverne mewarisi bakat kakaknya. Untuk mengisi lagu itu, Keith meletakkan tangan kanannya di tuts-tuts yang lebih tinggi dan memainkan nada lagu itu bersama Laverne.

But the tigers come at night,
With their voices soft as thunder…
As they tear your hope apart,
As they turn your dream to shame…

And still I dream he'll come to me…
That we will live the years together…
But there are dreams that cannot be…
And there are storms we cannot weather…

I had a dream my life would be
So diff'rent from this hell I'm living,
So diff'rent now from what it seemed…

Permainan piano Laverne memudar seiring dengan berakhirnya lagu itu. Ia menoleh kearah Keith sambil menekan kunci terakhir lagu itu dan bernyanyi dalam suara yang nyaris selembut bisikan,


Now life has killed the dream I dreamed…

3

“Itu bagus sekali,” ujar Keith pelan. Ia melepaskan kakinya dari pedal dan membetulkan posisi duduknya. Sepertinya duet yang tak disengaja tadi membuatnya duduk lebih dekat dengan Laverne daripada seharusnya. Keith melemaskan tangannya, berusaha menghilangkan rasa panas yang tiba-tiba menjalari seluruh tubuhnya. Laverne menoleh kearahnya. “Terima kasih.”

“S-sepertinya waktu kita sudah habis,” Keith berdeham dan bangkit berdiri. “Terus latihan, ya. Kita akan bertemu lagi minggu—“

“Tunggu. Keith,” Laverne menyentuh lengan Keith yang tertutup baju lengan panjang dengan tiba-tiba.

“Ya?”

“Mama sedang pergi,” kata Laverne datar. Keith menatap gadis itu dengan alis terangkat. Laverne tersenyum penuh harap. “Kau mau mengantarku ke suatu tempat?”

“Aku tidak digaji untuk itu,” jawab Keith dengan wibawa seorang guru. Laverne memutar kursi rodanya dengan kedua tangannya untuk menahan Keith, tapi itu malah menyebabkan kursi rodanya nyaris terguling kesamping.

“Hei!” Pernah merasakan serangan jantung kecil-kecilan ketika kau sedang berjalan turun tangga dan melewatkan satu anak tangga? Seperti itulah yang dirasakan Keith. Secepat kilat ia menahan kursi roda itu benar-benar jatuh. “Hati-hati sedikit. Aku—akan mengantarmu… asalkan kau tidak ke tempat yang aneh-aneh.”

“Tempat aneh-aneh apa?” tanya Laverne, matanya yang bulat semakin besar ketika ia mengatakan hal itu. “Anehkah taman di belakang rumahku?”

“Taman?” tanya Keith, mulai mendorong kursi roda Laverne keluar dari ruangan itu. “Ya… taman, dan satu tempat lain. Kuharap kau tidak keberatan.”

Ternyata selain halaman depan yang dihiasi air mancur yang indah, rumah Laverne juga dilengkapi taman luas. Laverne memetik beberapa bunga mawar berwarna merah gelap dan mengikatnya menjadi satu buket. Keith mulai bertanya-tanya untuk siapa Laverne memetik bunga ini? Laverne mengangkat wajahnya untuk menatap Keith yang mendorong kursi rodanya dari belakang. “Kau kesini dengan membawa mobil, kan?”

“Ya.”

“Kau bisa antar aku dengan mobilmu? Tidak jauh,” pinta Laverne. Tak sedikitpun terlintas di pikiran Keith untuk menolak permintaan Laverne. Ia mengangguk. “Memangnya kita mau kemana?”

Suara Laverne menjadi sangat berbeda dari biasanya. “Tanah makam Alex.”

Keith membantu Laverne turun dari mobilnya langsung keatas kursi roda dan membimbingnya memasuki pemakaman yang sepi itu. Segalanya terlihat kelabu di makam itu—langit, kabut, cuaca, batu nisan, dan tanah, semuanya terlihat sewarna. Mereka berhenti didepan kuburan yang ditunjukkan Laverne. Keith mundur beberapa langkah dan membiarkan Laverne meletakkan buket bunga itu dan berdoa.

Jadi kakak yang sedari dulu dibangga-banggakan Laverne itu sudah meninggal? Pikir Keith. Jadi menghilangnya Alexander de Luca adalah karena kematian? Kenapa berita itu sama sekali tak tersebar? Padahal Alexander adalah musisi yang sangat memilikki nama di kalangan penikmat musik klasik. Apa sebenarnya penyebab kematian Alex?

“Hei,” lamunan Keith buyar ketika Laverne memanggilnya. Laverne menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “I’m done here.”

“Hidup itu singkat, bukan?” ujar Laverne ketika sudah berada di mobil. “Sepertinya baru kemarin Alex menyelesaikan konsernya dan berjanji padaku akan mengajariku piano agar aku bisa sehebat dia…”

“Kapan itu terjadi?” tanya Keith tertarik. Laverne mendesah. “Setiap saat. Alex selalu sibuk dengan konser-konsernya. Alex selalu kembali ke belakang panggung dan memelukku. Alex selalu mengiyakan permintaanku untuk diajari piano. Alex selalu berjanji akan mengajariku agar bisa sehebat dia. Dan Alex tak pernah memenuhi janjinya itu…”

Keith menepikan mobilnya di jalan yang cukup sepi. Ia melihat kepala Laverne tertunduk dan tetesan-tetesan air mata terlihat jelas di mini dress-nya yang berwarna pink pucat. Karena tidak tau lagi harus berbuat apa, Keith menarik Laverne kedalam dekapannya. Tak lama kemudian ia merasakan kedua tangan Laverne yang ikut merangkulnya, dan air mata Laverne yang membasahi pakaiannya.

“Aku mungkin takkan pernah bisa menggantikan Alex sebagai kakakmu—tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengisi tempat kosong yang ditinggalkan Alex. Aku akan menggantikan Alex, aku akan memenuhi janji Alex. Percaya padaku, tak lama setelah ini, kau akan menjadi pianis yang hebat, Laverne.”

Laverne melepaskan diri dari pelukan Keith. “Benarkah?”

“Aku berjanji,” akhirnya Keith mengucapkan ‘kata mati’ itu. Mobil kembali melaju.

“Kau punya seseorang yang spesial dalam hidupmu, Keith?” tanya Laverne dengan suara yang mulai ceria lagi. Keith tersenyum. “Ya.”

Untuk membuktikan ucapannya, Keith melepaskan sebelah tangannya dari kemudi dan membiarkan Laverne melihat cincin yang melingkar di jari manisnya. “Aku akan segera menikah. Namanya Keira.”

Karena tidak ada jawaban, Keith memutuskan untuk membuka diri. “Aku dan Keira sudah berhubungan sejak tujuh tahun yang lalu. Hubungan kami ditentang keras oleh orangtua Keira. Karena itu, aku dan Keira… eh—kami lari. Ke kota ini. Dan hidup berdua. Tapi sejak dua tahun belakangan ini Keira sudah menderita leukimia. Sekarang ia hanya bisa menghabiskan waktunya di rumah sakit karena penyakitnya yang sudah parah.”

Laverne mengerjapkan matanya. “Aku…” ia menggigit bibir. “Aku harap Keira akan sembuh.”

Itu kalimat pertama yang seseorang katakan tentang Keira, kalimat pertama yang dipenuhi harapan. Karena Nicole dan semua teman-teman Keith yang mengenal Keira hanya berkata kalau Keith benar-benar orang bodoh. Orang bodoh yang berusaha menarik sebelah kaki Keira yang sudah tertimbun dalam tanah kubur.

“Terima kasih banyak,” kata Keith sepenuh hati. Keith berhenti didepan rumah Laverne. Pagar masih tertutup dan sepertinya Mrs Hilda belum pulang. Syukurlah.

“Disini saja,” desis Laverne pelan. Semua pelayan sepertinya sedang sibuk menyiapkan makan malam sehingga lantai dua letak kamar tidur Laverne kosong. Meskipun begitu, ia tetap berjaga-jaga. Keith mendorong pintu kamar Laverne yang berwarna putih dan mendorongnya masuk. Ia kembali dihadapkan dengan kamar luas berlapis karpet merah tua yang ranjang serta semua perabotannya terlihat sangat mewah.

“Aku sangat senang kau mau mengantarku,” ujar Laverne sambil memeluk tubuh Keith tanpa peringatan. Keith tersentak, sehingga ia sama sekali tidak membalas pelukan gadis yang duduk diatas kursi roda itu. “Kau guru terbaik yang pernah kutemui, Keith.”

“Akan kuingat itu,” Keith membelai kepala Laverne dan mengacak-acak rambutnya sambil tertawa. Ia menoleh ke koridor lantai dua yang masih kosong. “Sebaiknya aku pergi sekarang.”

Keith menghempaskan dirinya di kursi pengemudi dan menutup pintu mobilnya. Debar jantungnya masih tidak beraturan dan sepertinya ada gaya gaib yang terus-menerus menarik kedua sudut bibirnya keatas. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan diri bahwa semua kejadian tadi tidak berarti apa-apa.

“Keira,” Keith menyebutkan nama itu berkali-kali. “Keira. Aku harus menemui Keira.”

4

“Maafkan aku.”

Keira mengambil sepotong mochi dari kotak yang dibawakan Keith dan memakannya dengan cepat. “Maaf?”

“Kau suka mochi-nya?” Keith tersenyum melihat Keira yang tubuhnya mulai mengurus itu makan dengan lahap.

“Tidak akan ada kalimat di dunia ini yang berisikan kata-kata ‘Keira’, ‘mochi’, dan ‘tidak-suka’, kau tau,” Keira menjulurkan lidahnya dan mengambil sepotong mochi lagi. “Jadi. Maaf untuk apa?”

“Aku terlambat datang,” Keith mengangkat bahu.

“Antrian mochi-nya pasti panjang sekali,” Keira memaklumi. Keith menggeleng. “Aku tadi… pergi dengan muridku.”

“Muridmu? Si gadis kaya yang memintamu datang ke rumahnya secara khusus?” Keira tertawa. “Wah, kuharap kau tau apa yang kauucapkan, Keith.”

It was nothing,” kata Keith cepat. “Dan sebelumnya—Laverne itu gadis yang sangat baik. Sangat jauh dari bayanganmu—juga bayanganku—tentang seorang gadis kaya. Ia… lumpuh. Dan sangat pemalu. Dan manis. Dan lembut, sopan, berbakat.”

“Cantik?”

“Lumayan,” untuk jawaban itu, Keith berdusta. “Ia memintaku menemaninya ke makam kakaknya. Kau tau siapa kakaknya?”

Surprise me.”

“Alexander de Luca, pianis terkenal itu,” seru Keith. “Bayangkan saja!”

“Tak heran ia berbakat,” ujar Keira. Ia tersenyum kecil. “Berapa usia gadis itu?”

“Hampir 18 tahun.”

“Kalau begitu ia pasti menganggapmu kakak barunya,” gurau Keira. Keith tertawa. Ia memeluk Keira erat-erat, tapi sebuah perasaan aneh merasukinya.

Tangan yang saat ini sedang memeluk Keira adalah tangan yang sama yang telah memeluk Laverne. Juga tangan yang sama yang telah membelai kepala Laverne. Juga tangan yang sama yang telah tenggelam dalam alunan lagu duet piano bersama Laverne.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Keith sama sekali tidak ingin memeluk Keira lagi.

Hujan deras dan angin kencang seakan berlomba-lomba untuk menguasai malam itu. Cahaya bulan dan bintang sudah lama lenyap, digantikan gumpalan awan tebal yang mewarnai langit gelap.

Stasiun kereta api itu ramai dengan calon penumpang yang mengantri. Ia turun dari mobilnya sambil melepaskan jaketnya, lalu menjadikan jaket itu tudung diatas kepalanya dan gadis yang berjalan disampingnya. Si gadis menggigil sambil menyibakkan rambut pirangnya, sementara pemuda tadi membawa dua buah koper. Akhirnya, mereka tiba di gerbong kereta api. Pemuda itu menurunkan jaketnya karena air hujan tidak lagi mengguyur mereka. Tubuh mungil gadis itu nyaris hilang ditelan keramaian orang, sehingga ia terus-menerus menggenggam lengan gadis itu.

“Kau yakin dengan ini?” ia meninggikan suaranya untuk mengalahkan keributan para penumpang yang berdesakkan. Sudah berapa kali ia menanyakan pertanyaan yang sama pada gadis itu malam ini?

Suara pluit panjang terdengar, dan kereta mulai bergerak. Gadis itu mengacuhkan orang-orang yang lalu lalang, menarik pemuda itu mendekat dan menciumnya. “Sudah kubilang, aku sangat yakin.”

Nada suara Keira malam itu sangat berbeda dengan nada suara Keira sekarang. Keith ingat benar, malam itu Keira begitu bersemangat dan yakin. Keira sama sekali tidak takut. Ia malah bersemangat dan menganggap semua ini petualangan yang menegangkan. Tapi ternyata semuanya tak berjalan semulus bayangan mereka. Yang tersisa dalam hubungan mereka sekarang hanyalah rasa bersalah. Rasa bersalah pada satu sama lain—terutama Keith pada Keira—karena tidak pernah bisa menulis akhir yang bahagia untuk kisah cinta mereka.

Keith menatap wajah Keira yang tertidur sambil merenung. Sudah berhari-hari ia mempertimbangkan melamar Keira secepatnya, tapi kenapa ia tidak pernah membulatkan keputusan itu? Padahal dulu ia sangat bersemangat dengan ide mencari cincin yang tepat, mengurus pernikahan dan sebagainya. Sekarang, angan-angan itu hanya melayang dan memudar begitu saja dari benaknya. Passion itu mulai menguap. Ia sebenarnya tau alasannya, meskipun ia terlalu takut untuk mengakuinya.

Benaknya selalu diusik oleh seorang penghuni baru.

Laverne.

“Keith, aku benar-benar minta maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud merepotkanmu. Aku tau ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kontrak kerjamu tapi urusan ini benar-benar penting… Biasanya pesuruhku bisa melakukannya, biasanya aku sendiripun bisa melakukannya, tapi aku terjebak urusan mendadak sehingga aku hanya bisa berharap padamu.”

Keith melongo mendengar pidato panjang Mrs Hilda yang menerjang gendang telinganya tanpa peringatan. Ia melirik Keira yang duduk di ranjang kamar rawat, yang membalas tatapannya sambil tertawa jahil. Keith mendesah. “Ya, Mrs Hilda—apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?”

“Ini bukan untukku, ini untuk Laverne,” terang Mrs Hilda. “Kau mau mengantarnya terapi bulanan? Di Centre Hospital.”

Keith menelan ludah. Centre Hospital? Lucu sekali. Ia merasa sedang mendapat April Mob dari Tuhan.

“Aku—ya. Tentu saja aku akan menolong Anda.”

“Terima kasih banyak,” suara Mrs Hilda terdengar sangat lega. “Dan jangan khawatir, gajimu akan kutambah sedikit. Kau bisa menjemput Laverne sekarang? Aku sangat percaya padamu, Keith.”

“Ya, Ma’am,” angguk Keith. “Aku akan kesana sekarang.”

“Ada apa?” tanya Keira penasaran. Keith menghampirinya dan mulai berkata dengan kikuk, “Eh, kalau—kau tidak keberatan… aku—aku dimintai tolong untuk mengantar si Laverne itu… untuk terapi. Di rumah sakit ini.”

“Kau sudah mengatakan ya pada ibunya. Kalaupun aku keberatan, pendapatku takkan kau pertimbangkan, bukan?” hanya itu jawaban Keira. Keith tertegun. Kelemahannya yang terbesar adalah Keira. Ia tak pernah bisa tahan bila Keira marah padanya, meskipun Keira mengutarakannya dengan cara yang halus seperti sekarang. Tapi apa boleh buat? A deal is a deal.

“Kurasa aku akan menjemput Laverne sekarang. Bye.”

5

“Jadi tunanganmu juga dirawat di Centre Hospital?” seru Laverne kaget. “Wah! Kau mau mengenalkannya padaku?”

“Untuk apa?” Mungkin terdengar tidak sopan, tapi pertanyaan itu langsung meluncur dari mulut Keith.

“Aku ingin tau gadis seperti apa yang bisa membuatmu jatuh cinta.”

Nah, kenapa Laverne berkata seperti itu? Seolah-olah… Ah, kembalilah pada kenyataan, Keith mengomel pada dirinya sendiri. “Kenapa tidak? Setelah terapi-mu selesai, kau boleh mengunjunginya.”

“Asyik,” Laverne meremas tangannya.

“Nah. Kita sudah sampai. Ayo.”

Terapi yang dijalani Laverne memakan waktu sekitar setengah jam. Menurut keterangan dokter yang berhasil dicuri dengar oleh Keith, Laverne tidak terlahir lumpuh. Sebuah kecelakaan yang parah telah merusak syaraf-syarafnya dan menyebabkannya tidak mampu berjalan lagi. Untunglah syaraf-syaraf yang menggerakan kaki dan tubuh atasnya masih bekerja dengan baik. Tapi Laverne tidak akan pernah bisa merasakan sentuhan apapun yang mengenai kakinya.

“Maaf merepotkanmu,” rintih Laverne saat Keith menopangnya untuk kembali ke kursi roda. Keith tersenyum. “Tidak masalah,” katanya. “Nah, kau mau ke kamar Keira?”

Keira sedang melamun dengan mata terbuka lebar sehingga ia cukup kaget ketika Keith kembali dengan seorang gadis yang tak dikenalnya. Keira tersenyum ramah padanya. Cukup ramah bagi Laverne, tapi Keith tau senyum tulus Keira tidaklah sekaku itu.

“Keira… ini Laverne. Laverne, ini Keira.”

“Keith bercerita banyak tentangmu,” ucap Laverne langsung. “Aku sangat senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Kau sangat cantik.”

“Terima kasih,” Keira jelas heran melihat gadis yang kata Keith hampir berusia 18 tahun ini. “Bagaimana terapimu, hmm, Laverne?”

“Membosankan dan tidak membuahkan hasil apa-apa. Seperti biasa.” Nada suara Laverne tetap riang. “Aku heran kenapa Papa dan Mama tidak pernah kapok menghabiskan uang mereka untuk bermain-main dengan keberuntungan seperti ini.”

Keira hanya membalasnya dengan seulas senyum, sementara Laverne meneliti setiap sudut ruangan itu dengan penuh semangat. Di sudut ruangan itu ada kanvas dan setumpuk cat, kuas serta palet kayu. “Oh! Kau pelukis?”

“Aku menyukai seni lukis,” jawab Keira. Keith mendorong kursi roda Laverne ke ‘studio’ kecil Keira agar ia bisa melihat hasil lukisan Keira. Jendela, kamar, piano, Keith, taman, semuanya digambar dengan sempurna oleh Keira.

“Indah, ya?” Keira berkata saat Laverne membolak-balik buku gambarnya. “Aku suka duduk disitu dan melukis saat para suster sedang sibuk sendiri. Tapi sekarang—berdiri saja aku nyaris tidak kuat. Jadi aku tak pernah membuat karya-karya baru lagi.”

“Begitukah? Aku harap… kau akan sembuh,” tanpa menunggu pertolongan Keith, Laverne mendorong kursi rodanya ke tepi ranjang Keira. “Supaya kalian berdua bisa segera menikah. Kalian pasti hidup bahagia seperti pangeran dan putri.”

Setetes air mata mengalir di pipi Keira, tapi ia tetap tersenyum. “Terima kasih, Cantik.”

“Kurasa ia harus pulang sekarang,” potong Keith sambil menghampiri Laverne. “Bukankah begitu, gadis bandel?”

“Kau juga yang membawaku kesini,” Laverne tertawa sambil memukul lengan Keith. Keith ikut tertawa dan mencubit pipi Laverne sebagai balasan. Semua adegan itu tidak luput dari kedua mata Keira yang hanya mengawasi sambil terdiam.

“Ayo, kita pulang,” sesuatu menahan Keith untuk bercanda dengan Laverne lagi. “Keira? Aku pergi dulu, ya.”

“Menurutku Keira sangat menyenangkan,” kata Laverne saat berada didalam mobil. “Dimana kalian pertama bertemu?”

“Ah—itu,” Keith tersenyum mengingat kejadian itu—awal dari segala kisah mereka. Ia menghembuskan nafas perlahan.

“Musim panas setelah aku lulus sekolah, aku dan teman-temanku mengadakan pesta besar di Puerto Rico. Pesta untuk para alumni, tentu saja. Karena sama sekali tidak masuk akal bila mengunjungi Puerto Rico hanya untuk berpesta semalam lalu pulang, kami menginap di resort ditepi pantai. Dan Keira rupanya juga sedang menginap di resort yang sama.

“Sebenarnya cerita awal pertemuan kami sedikit konyol. Aku dan teman-temanku, setelah bosan berjemur di pantai, mengunjungi balkon besar resort itu. Disitu ada teropong besar yang memang diperuntukkan untuk mereka yang ingin menikmati pemandangan laut. Saat tiba giliranku melihat-lihat, aku mengarahkan teropongku ke kolam buatan yang dibangun ditepi pantai.

“Ada seorang gadis yang sepertinya baru selesai menyelam. Tubuh dan rambutnya basah kuyup. Aku langsung jatuh cinta pada penampilannya yang cantik itu sehingga aku terlibat taruhan dengan teman-temanku untuk mengajaknya berkenalan.

“Malamnya, kami mengunjungi bar di resort itu. Ia ada disana, sendirian. Jadi aku mempertaruhkan harga diriku, mendekatinya. Aku sadar ia perempuan baik-baik karena ia langsung menjauh saat kudekati. Tapi aku tidak pernah berhenti mencoba sehingga akhirnya ia mau memberitahuku nama serta tempat asalnya. Ternyata kami berasal dari kota yang sama, Calgary

“Pesta kelulusanku berakhir—aku kembali ke Calgary. Kami menumpangi pesawat yang sama. Temanku berulang tahun tak lama sesudah itu sehingga aku iseng-iseng mengajaknya sebagai kencanku di pestanya. Tapi itu malah membuat kami makin dekat sampai kami memutuskan untuk sungguh-sungguh dalam menjalani hubungan kami.

“Semuanya berjalan lancar—sampai orangtua Keira masuk kedalam kisah. Mereka menentang keras hubungan kami. Keira begitu tertekan sehingga memaksaku untuk kabur dari Calgary dan tinggal berdua saja denganku. Aku tak tega untuk menolaknya. Ia minggat dari rumahnya dan kami berdua menaikki kereta tercepat yang kami temukan, menuju kesini—ke Ontario.”

“Dan disinilah kalian sekarang,” Laverne tersenyum kecil. “Keith, aku benar-benar berharap Keira sembuh. Bolehkah aku jujur padamu tentang sesuatu?”

“Tentang apa?” syaraf Keith menegang.

“Aku—“ Laverne berhenti sebentar. Ia menyelesaikan kalimatnya dengan cepat. “Aku sangat iri pada Keira.”

6

“Kapan kau melukis ini?”

“Tadi siang, saat suster sedang pergi,” Keira tersenyum iseng menatap buku gambarnya dengan bangga. “Menurutmu bagaimana? Sudah lama aku tidak latihan.”

“Kau harusnya bersyukur kau tidak terjatuh saat mengambil buku gambar, kuas dan catmu,” omel Keith khawatir. “Tapi sayang sekali, gambar ini bagus sehingga aku tidak tega memarahimu.”

“Lucu sekali,” tukas Keira. “Sebenarnya aku sedang kesepian kemarin saat kau pergi dengan Laverne, lalu aku mengingat sebuah lagu. Lagu itu yang mengilhamiku menggambar ini.”

Keith menatap gambar itu. Latarnya adalah alam terbuka dengan langit gelap. Tetes-tetes hujan terlihat begitu hidup di gambar itu sehingga Keith ikut merasa basah dan kedinginan. Lalu di tanah yang kelabu ada sebuah payung bergambar hati yang tergeletak begitu saja.

“Kau pianis dan kau tidak tau lagu itu? Kiss the Rain, Keith. Kurasa ada baiknya kalau Laverne kau ajari lagu itu. Cukup bagus, menurutku.”

Kiss the Rain?

I often close my eyes,

And I can see you smile

You reach out for my hand,

And I’m woken from my dream…

Although your heart is mine,

It’s hollow inside

I never had your love and I never will…

Kutipan lirik itu tertulis di bagian belakang kertas gambar Keira yang diberikan pada Keith. Meskipun ia tampak baik-baik saja saat berbicara dengan Keith tadi—kenapa ia menuliskan semua ini? Apa Keira mulai merasakan apa yang Keith rasakan—apa Keira juga merasa bahwa nama Laverne mulai menyelinap kedalam hubungan mereka?

Kiss the Rain? Ya, aku tau lagu itu. Aku selalu ingin belajar lagu itu,” ujar Laverne penuh semangat. Pembacaan not Laverne belum terlalu lancar, tapi ia sudah bisa mengerti not angka. Karena itu, Keith cukup menuliskan angka-angka diatas secarik kertas untuk dibaca oleh Laverne seraya bermain.

“Cukup mudah. Mainkan di G kres, ya.”

Laverne mulai bermain—awalnya dengan tersendat-sendat, tapi ia pelajar yang cepat. Saat ia sudah mulai menguasai lagunya, refleks Keith mendorongnya untuk mendekat dan kembali membantu Laverne dengan menekan pedal sustain dengan kaki kanannya.

And every night, I lie awake

Thinking maybe you love me like I’ve always loved you

But how can you love me like I love you,

When you can’t even look me straight in my eyes?

I never felt this way, to be so in love…

To have someone there, yet feel so alone…

Aren’t you supposed to be

The one to wipe my tears?

The one to say that you’ll never leave?

The waters calm and still,

My reflection is there

I see you holding me,

But then you disappear

All that is left of you is a memory

One that only exists in my dreams…

So why am I still here in the rain?

“Laverne,” ucap Keith tanpa sadar. Laverne mengangkat tangannya dari tuts-tuts piano. “Ya?”

“Itu… bagus,” desah Keith sambil menatap bola mata Laverne yang seolah menyihirnya. “Sejak kapan kau menjadi begitu menawan?”

“Apa?”

“Apa yang kukatakan tadi?” Keith memberikan sebuah tamparan mental pada dirinya sendiri. Ya Tuhan, ia benar-benar harus mengundurkan diri dari pekerjaan ini. Laverne benar-benar bisa membuat Keith breathless seperti sekarang ini. Keira, Keith—pikirkan Keira. “Lupakan. Apa kau punya cita-cita? Passion yang ingin kau capai?”

Passion…” gumam Laverne pelan. Ia menggeleng.

“Ayolah,” bujuk Keith. “Sebuah angan-angan? Kau begitu berbakat. Tak pernah bercita-cita jadi pianis seperti kakakmu?”

“Dengan kursi roda ini?” balas Laverne. “Keith, masa’ aku harus mengandalkanmu untuk mendorongku keatas panggung? Duduk di sampingmu karena aku tidak bisa melakukan hal yang paling dasar dan sederhana—menekan pedal bodoh itu dengan kakiku sendiri? Sampai kapan aku akan merepotkanmu seperti ini?”

Kalimat itu begitu tiba-tiba sehingga Keith kehabisan kata-kata. Laverne menghela nafas. “Aku harus memusatkan hatiku pada passion yang bisa kucapai.”

Tepat seperti perkataan Keira, pikir Keith dalam hati. “Kau mengingatkanku pada Keira.”

“Benarkah?” tanya Laverne. “Apa aku benar-benar mirip dengan Keira?”

“Kau…” Keith tersenyum menatap gadis itu. “Kau punya masalah—tapi kau masih tetap tersenyum seperti dia. Kau begitu lembut seperti dia. Kau memilikki mata yang bisa membuatku terpaku begitu saja, seperti dia. Kau juga… cantik seperti dia.”

“Kalau begitu kenapa kau tidak bisa menyukaiku? Karena aku sangat menyukaimu.”

Hening. “Kau bilang apa?”

Suara sepasang stiletto memecahkan keheningan diantara mereka berdua. “Keith? Kau sudah terlambat bubar lima menit.”

Keith melirik jam mobilnya yang masih menunjukkan pukul 18:04. Baiklah—Keira bisa menunggu. Ia memarkir mobilnya didepan sebuah mal kelas menengah dan turun. Ia sudah menyisihkan sedikit gajinya selama ini. Ia berharap, ia bisa menemukan barang yang tepat.

Hadiah ulang tahun yang ke -18 untuk Laverne.

“Anda akan membeli ini?” tanya si pelayan toko pada Keith. Keith mengangguk. Kalung emas putih berliontin kupu-kupu, sepertinya cocok untuk dipakai Laverne. Tadinya ia hendak membelikan pakaian, tapi Keith sama sekali tidak mengerti mode wanita masa kini sehingga ia memutuskan untuk membeli kalung saja. Ia membayar harga yang tidak murah itu sambil tersenyum pada si pelayan toko yang sudah dikenalnya.

“Untuk Miss Keira lagi?” tanya si pelayan toko iseng. Toko perhiasan ini sudah sering dikunjungi Keith. Terakhir kalinya adalah saat ia membeli cincin tunangan untuk Keira. Tapi pertanyaan si pelayan toko membuat tangan Keith terasa dingin. Apa yang sedang ia lakukan disini?

“Eh—iya,” Keith terpaksa berbohong. “Wah, setia sekali,” si pelayan toko berkomentar. “Kapan akan membeli cincin pernikahannya? Kuharap kau tidak memesan di toko lain.”

“T-tidak, tentu tidak,” damn, this guilt again. “Kami hanya sedang menunggu tanggal yang tepat.”

Selain kalung itu, Keith masih membelikan sebuah scrapbook putih untuk Laverne. Ia mengisi scrapbook itu bukan dengan foto, tapi dengan partitur-partitur musik di lembar kertas yang sengaja dicetaknya dalam bentuk yang lebih bagus dan enak dipandang daripada partitur musik biasa. Ia mencetak partitur-partitur lagu yang menurutnya cocok untuk Laverne—beberapa lagu klasik seperti Air, Fur Elise, Minuet, Nostalgy, serta lagu musisi-musisi baru seperti Beloved, Dandelion’s Promise, The Sunbeam They Scatter dan Piano. Pekerjaan menyelipkan setiap lembar kertas dengan rapi kedalam scrapbook memakan waktu yang cukup lama sehingga Keith baru tiba di rumah sakit pukul 20:00.

“Sir Keith, Anda baru tiba?” seorang suster menyambutnya dengan terburu-buru di rumah sakit. Mendengar nada suaranya, bulu roma Keith berdiri. “Ada apa?”

“Miss Keira… Miss Keira memasuki fase kritis,” suster itu membimbing Keith ke kamar Keira yang dikerumuni banyak dokter. “Para dokter sudah berusaha sebisa mereka. Tapi…”

“Tapi itu takkan berlangsung selamanya, bukan?” melihat nyawa Keira dipermainkan seperti itu, Keith mulai mengerjap-ngerjapkan matanya. Apa boleh buat—ia sudah menangis didepan suster ini.

“Memang tidak—tapi para dokter tidak bisa menduga kapan…” suster itu terdiam.

“Kapan apa?”

“Kapan tubuh Keira akan menyerah terhadap penyakitnya,” ucap suster itu. Keith terduduk di salah satu kursi di koridor dan mengubur wajahnya dalam telapak tangannya.

Ia mengorbankan waktu yang seharusnya digunakannya untuk Keira demi Laverne. Ia mengorbankan perasaannya pada Keira padanya demi Laverne. Ia—jatuh cinta pada Laverne. Apa yang telah ia lakukan?

7

“Aku turut prihatin, Keith,” Mrs Hilda meletakkan tangannya di pundak Keith yang berada jauh diatas tubuhnya yang sudah ditopang high heels 10 cm. “Aku yakin Keira sudah tenang di sisi Tuhan…”

Seminggu setelah mengalami masa kritis, Keira akhirnya meninggal. Keith hanya bisa menangis meskipun ia masih bersyukur karena akhirnya Keira tak perlu menghadapi penyakitnya lagi. Ia bisa beristirahat dengan tenang dan damai—bukan beristirahat paksa yang disebabkan obat-obatan yang sudah mencemari seluruh tubuhnya itu. Meskipun akhirnya Keith tidak mampu mendapatkan passion-nya untuk menikahi Keira, Keith yakin inilah yang terbaik untuk Keira.

“Aku akan sangat merindukanmu,” Keith menyentuh batu nisan Keira dengan tangannya yang dingin. Ia memejamkan mata. Perasaan yang ia dapatkan saat Keira tersenyum padanya, berbicara dengannya, memeluknya, menciumnya, dan terlelap di sampingnya pada saat malam mereka pergi dari Calgary kembali menjalari tubuhnya. Ia tau Keira ada disana. Memandangnya untuk terakhir kali sebelum benar-benar pergi. Sebuah tangan mungil menepuknya, dan perasaan itu langsung hilang seluruhnya. Laverne berada di belakangnya.

“Kau baik-baik saja?”

“Kurasa begitu,” Keith mendorong kursi roda Laverne menjauhi kerumunan orang-orang yang hadir dalam upacara pemakaman itu. Ia masuk kedalam mobilnya dan membawa Laverne turut serta.

“Kenapa kita kemari?”

“Aku sudah cukup berpisah dengan Keira,” Keith mengambil sebuah tas di bangku belakang mobilnya. “Aku tau upacara ini menguras seluruh tenaga dan waktuku, tapi tidak ingatanku. Aku masih ingat kejadian lain hari ini.”

“Kejadian apa?” pipi Laverne memerah.

“Ulang tahun seorang gadis manis, bandel, yang bilang ia tidak mau jadi pianis padahal sesungguhnya ia ingin,” Keith tertawa singkat. Ia mengeluarkan kotak kalung dan scrapbook hadiah Laverne dan menyerahkannya. “Selamat ulang tahun.”

Laverne mengangkat wajahnya dan tersenyum perlahan. Keith memeluknya. “Kuharap kau menyukainya.”

“Keith… Aku sangat menyukainya.”

Keith menatap amplop di tangannya dengan ragu. Buka, atau tidak? Para suster Centre Hospital mengatakan bahwa Keira mengalamatkan surat itu padanya. Keira menulisnya sebelum ia memasuki fase kritis dan menyelipkannya dibawah bantalnya.


Air mata pahit Keith mengalir lagi. Jadi saat itu Keira sudah tau kalau waktunya hampir habis. Keith merobek ujung amplop itu dan menarik selembar kertas yang sudah mulai menguning. Ditulis dengan huruf sambung yang elok dan rapi, oleh tangan Keira sendiri.

“It’s strange to think the songs we used to sing, the smiles, the flowers, everything—is gone. Yesterday, I found out about you. Even now just looking at you feels wrong…”

My dear Keith,

Saat kau mengantar Laverne pulang sore itu, hanya lagu itu yang mengiang di kepalaku. Aku merindukanmu yang dulu, Keith. Maafkan aku kalau aku hanya bisa menjadi beban untukmu. Maafkan aku kalau aku hanya bisa mengusik waktu tidurmu kalau tiba-tiba terjadi apa-apa padaku di rumah sakit. Kau selalu datang dan datang lagi, dan aku mulai meyakinkan diriku sendiri: suatu hari, kau akan lelah untuk kembali padaku. Meskipun kau selalu berjanji untuk menikahiku dan blablabla, aku tau itu semua akan hilang begitu saja.

Aku tidak membenci Laverne. Ia gadis yang menyenangkan. Tapi aku tau kalau kau merasakan sesuatu terhadap gadis itu, Keith. Meskipun kau sendiri terlalu takut untuk mengakuinya, aku yakin kau sebenarnya mencintainya. Aku yakin perasaanmu untukku tidak ada lagi. Dan aku tidak menyalahkanmu.

Mungkin saat kau membaca ini, kau akan menangis dan menyimpannya seumur hidupmu. Kuharap jangan lakukan itu. Buanglah surat ini, karena bab baru dalam hidupmu telah dimulai. Aku harap kau mau jujur terhadap dirimu sendiri dan terhadap Laverne bahwa kau mencintainya. Kalau kau sudah melakukan itu, yakinlah bahwa aku akan tenang di rumah asalku J

Because a wise man once said this

“If you fall in love with two people, choose the second. Because if you’ve really loved the first, you wouldn’t have fallen for the second.”

PS. You are my passion.

COURTESIES

I did not, do not and will never own these—

‘I Dreamed a Dream’ – Les Miserables

‘Kiss the Rain’ – Yiruma

‘Should’ve Said No’ – Taylor Swift

Back to December


.

you can consider this a continuation of my story 'love at fall' . it's just that the spotlight of the story shifts to a character whom once was just a help-out character :D


Part One

Celah kecil dari pintu auditorium yang setengah tertutup itu memang tidak menampilkan suasana auditorium dengan cukup jelas, namun baginya lumayanlah. Ia memang sudah melatih matanya agar terbiasa melihat dalam jarak yang cukup jauh. Setidaknya, cukup jauh untuk sepasang mata biru yang sayangnya harus dibingkai kacamata tebal.

Ia membuka halaman baru di buku sketsanya. Dengan pensil di tangan kirinya—karena ia memang pada dasarnya kidal—pemuda itu mulai menggambar dengan tekun. Matanya tak lepas dari pemandangan yang sudah memakannya waktu berhari-hari agar bisa digambar dengan sempurna.

Tidak sulit, karena pada dasarnya pemandangan itu sendiri memang sudah sempurna.

“Seth?”

“Ah! Iya,” Seth buru-buru menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh. Sedari tadi ia menyandarkan tangannya di pintu auditorium. Rupanya tanpa sadar ia malah melamun saat seorang gadis berambut cokelat ikal membuka pintu itu. Seth tersenyum malu pada gadis yang cukup dikenalnya itu, “Seravina.”

“Ya, latihan kami baru selesai,” Seravina menunjuk kedalam. “Kau sedang apa disini?”

“Aku...” Pipi Seth memanas saat tatapan mata gadis itu tertuju pada buku sketsa yang di genggamannya. Seravina menepuk pundak Seth sekali. “Mencari inspirasi, bukan? Biar kutebak, kau sedang menggambar sesuatu dengan inisial D dan huruf akhiran—“

“Sedang apa?” seorang pemuda bertubuh tinggi dan berwajah tampan muncul, menggandeng Seravina yang pada dasarnya jauh lebih pendek darinya. Seravina tertawa. “Ada kunjungan.”

“Oh, penonton setia kita,” gurau pemuda itu, Theo. Seth membuka tasnya dan memasukkan buku sketsa serta pensilnya kedalam. “Aku sebaiknya pergi.”

“Hei, jangan begitu terburu-buru,” cegat Theo. “Mau ikut makan bersama kami? Kita bisa berbincang-bincang. Destiny tidak bisa ikut karena harus menghadap dewan sekolah untuk merundingkan pertunjukan kami di hari Natal nanti. Kau bisa curhat pada kami sepuasnya. Bagaimana?”

Curhat? Seth bertanya-tanya dalam hati apa maksud Theo, tapi detik berikutnya semakin banyak orang sudah berkumpul. Seorang laki-laki bertubuh mungil dalam balutan pakaian flamboyan, lalu seorang laki-laki tinggi kurus yang datang dengan gadis berkacamata dan berwajah ramah. Mereka Abram, Rodd dan Rachel, anggota-anggota St. Salvatore Choir, klub musik sekolah St. Salvatore yang ternama di Louisiana itu.

Dan begitu Theo menyebutkan kata ‘kopi’, ‘donat’, dan ‘Seth’, Seth tiba-tiba sudah tenggelam dalam kelompok kecil itu dan diseret ke kafe terdekat dari sekolah mereka.

“Kenapa kalian menghilang begitu saja kemarin?” gerutu Destiny gusar. Rodd menghentikan permainan gitarnya dan tersenyum lebar. “Well, kami terlalu lapar untuk menunggumu, dan kemarin itu ada—eh—teman makan yang, kami rasa, takkan kau sukai.”

Please don’t let her find out...” gumam Rachel malas, tapi Destiny langsung berkata, “Si Seth itu?”

Theo tertawa keras. “Jangan pasang muka seperti ayam sembelihan begitu, Des. Kau tau? Kalau saja kacamata jeleknya itu dilepas, kalau saja ia sesekali mengunjungi gym dan kalau saja ia tidak berbicara dengan begitu tergagap-gagap, si Seth itu bisa menurunkan popularitasku. Dan Seravina bisa saja jatuh hati pada Seth.”

“Jangan konyol,” sambar Seravina sambil melayangkan tamparan di punggung Theo. Destiny tertawa pahit. “Jangan mengejekku. Seravina kan yang paling sering tampil di tengah-tengah panggung diantara kita ini, jadi kenapa aku yang digemarinya? Lalu geek seperti dia seharusnya lebih menyukai tipe-tipe pendiam seperti Rachel, tapi ia malah mengejar-ngejar aku.”

“Ia takut pada tongkat kayu yang menjaga Rachel itu,” ejek Abram tanpa melepaskan pandangan dari majalah Vogue-nya. Rodd tertawa. “Jangan mengalihkan pembicaraan. Destiny—kau yakin kau tidak tergerak sama sekali? Anak itu sudah membuntutimu selama dua semester.”

“Lalu?” tukas Destiny. “Kau tau benar aku belum pernah—dan belum mau—pacaran. Apalagi dengan seorang...”

“Sudahlah,” Seravina terkikik. “Kalau ia memang tidak mau, jangan mendesaknya. Kuharap kau tidak menyesal nantinya, Destiny.”

“Menyesal karena menolak pelukis amatiran yang nerdy dan pemalu seperti itu?” Destiny menggeleng-gelengkan kepalanya. “Give me a break.”

“Destiny.”

Destiny memutar tubuhnya dan mengalihkan pandangannya ke ambang pintu ruang musik yang terbuka dengan tiba-tiba. Di Jumat sore seperti ini, dimana ia biasanya merenung sendiri di ruang musik untuk merencanakan kegiatan klub, ia paling benci bila ketenangannya diganggu. Kalau yang merecokinya adalah Theo, Seravina, atau yang lainnya, Destiny masih bisa memaklumi. Tapi yang sekarang berada dihadapannya adalah pemuda bertubuh kurus kering dengan kemeja lengan panjang kuning kotak-kotak dan celana jeans yang sudah sangat out of date, menatapnya dibalik kacamata yang sedikit bengkok sambil tersenyum malu.

“Seth.”

“Aku... maaf mengganggumu. Tapi aku mau memberikan ini padamu,” Seth maju selangkah dan menyerahkan sebuah bungkusan yang dilapisi kertas kado bergambar teddy bear. Destiny menerimanya tanpa melunakkan sikapnya sedikitpun.

“Ini... bukan ulang tahunku, Seth.”

“Aku tau,” Seth membetulkan letak kacamataya dan berdeham. “Aku... akan pindah dari St. Salvatore di akhir minggu ini. Ayahku ditugaskan untuk bekerja di Paris, jadi aku akan ikut dengannya. Semua sudah diurus.”

Kalau Destiny punya empat serambi jantung saat ini, tiga serambinya bersorak penuh kemenangan. Akhirnya ia bisa kembali ke hari-hari dimana ia bisa mengitari St Salvatore dengan bebas, tanpa merasa terbebani oleh sosok yang selalu mengikutinya dan melukisnya diam-diam seperti ini. Satu serambi jantungnya yang tersisa merasa iri karena Seth bisa pindah ke Paris. Paris, Perancis! Kota yang dianggap kota mode, kota fashion dunia! Sayangnya seseorang seperti Seth pasti tidak akan menganggapnya sesuatu yang penting.

“Terima kasih, kalau begitu,” ucap Destiny pelan. “Dan Seth—“

“Ya?”

“Aku tidak akan pernah menyukaimu. Sadarlah. Dan kuharap saat kau di Paris, kau akan melupakan aku. Bagaimana?”

“K-kenapa?” Penyakit gagap Seth kembali melanda lagi. Dan lagi, “K-kenapa, Destiny? Apa aku terlalu—rendah—untuk seorang gadis sepertimu?”

“Jangan bicara seperti itu,” tukas Destiny. “Kau bukan tipeku. Itu saja.”

“Tipe...” gumam Seth. “Memang seperti apa tipemu? Seperti Theo? Atau Rodd? Aku bisa mengusahakannya.”

Destiny merengut, lalu menggeleng. “Kau tau aku. Aku melakukan segalanya sendirian. Mendapat prestasi yang tidak henti-henti, memimpin klub musik St. Salvatore, memenangkan kejuaraan—kalau ada seorang laki-laki yang bisa membuatku merasa aku tidak bisa melakukan apapun tanpa dia, dialah tipeku.”

“Tak heran aku tak pernah melihatmu berkencan selama disini,” komentar Seth. “Selama hidupku,” koreksi Destiny. Ia tersenyum. “Sudahlah, Seth. Semoga hidupmu di Paris menyenangkan.” Sambil memegang bungkusan yang diberikan Seth dengan gaya seseorang yang hanya memegang kantung sampah, Destiny meninggalkan ruangan itu dengan perasaan lega.

Miss Independent

Mau tak mau Destiny tersenyum kecil membaca judul yang diberikan Seth pada gambarnya. Ya, bungkusan yang diberikan Seth ternyata berisi gambar diri Destiny diatas secarik kertas putih yang sederhana. Gambar itu tidak diwarnai, hanya diarsir dengan pensil, namun Destiny mau tak mau memandang tinggi gambar wajahnya itu. Sepertinya Seth melukisnya seusai Destiny berlatih, karena di gambar itu rambut Destiny lebih berantakan dari biasanya dan baju seragamnya dikeluarkan dari roknya. Destiny membalik kertas itu. Selain mencantumkan alamat emailnya (yang sama sekali tak dianggap penting oleh Destiny), ia juga menemukan beberapa patah kata yang ditulis Seth dalam huruf sambung.

When I see your face,

There’s not a thing that I would change,

‘Cause you’re amazing,

Just the way you are...

“Sangat pasaran,” cibir Destiny. Suara microwave oven-nya yang berdenting tiba-tiba mengejutkannya, sehingga Destiny langsung menyimpan kertas itu diantara tumpukan kertas-kertas lainnya didalam laci belajarnya.

Makaroni santapannya malam ini lebih penting daripada hadiah dari seorang pemujanya yang sebentar lagi akan berada di seberang lautan.

Part Two

Empat tahun kemudian

As usual, a successful concert. Semua tiket terjual habis dan beberapa yang tidak berhasil mendapatkan tiket masih nekat menerobos. Ini benar-benar gila,” Rachel menjatuhkan diri di sofa kecil dalam ruangan itu sambil mendesah panjang. Destiny duduk di hadapan cermin dan melepaskan anting serta kalungnya. Abram dengan sigap mengambil botol berisi make-up eraser dan mulai membersihkan wajah Destiny.

Empat tahun sudah berlalu, dan kini Destiny sudah melewati masa sekolah dan menjadi penyanyi terkenal. Walaupun mimpi itu sempat diragukannya karena ia lebih terbiasa bekerja dibalik layar dan bukannya tampil sebagai bintang utama, akhirnya ia membuktikan kemampuannya. Nama Destiny Hills menjadi pembicaraan dimana-mana dan kini satu lagi konsernya sudah dilaksanakan dengan sukses. Kali ini Destiny memilih Louisiana, kampung halamannya, sebagai tempat konsernya dilaksanakan.

Untuk sekedar memberitahu saja, Abram akhirnya menjadi make-up artist serta costume consultant setia Destiny. Teman-temannya yang lain terkadang masih menyempatkan diri untuk menghadiri konsernya, meskipun sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

“Permisi,” seorang wanita berwajah serius masuk kedalam dressing room. Ia membawa walkie talkie dan mengenakan setelan hitam. “Miss Hills, ada yang ingin bertemu dengan Anda.”

“Ya?” Destiny menoleh. Wanita itu menjawab, “Katanya namanya Seth McHale. Teman lama Anda yang baru kembali dari Perancis.”

Seth? Nama itu mengitari otak Destiny, mencari ruang yang tepat tempat sebersit kenangan tentang nama itu mungkin masih tersimpan. Tiba-tiba Destiny terperanjat, menatap kedua temannya. Mereka saling bertukar kalimat, “Kalian ingat? Kalian ingat?”

Terakhir kali Destiny bertemu dengan mantan teman sekolahnya itu adalah di ruang musik, saat Seth berkata akan pindah ke Paris dan memberikan hadiah khusus untuk Destiny. Destiny tidak tau dimana ia menyimpannya sekarang, tapi ia mengingat jelas betapa indahnya lukisan yang diberikan Seth untuknya. Perasaan benci yang dulu hadir dalam jiwa Destiny yang masih kekanak-kanakan langsung luntur. Ia berkata, “Judy, biarkan ia masuk.”

Pertama-tama muncul sebuah buket bunga mawar, lalu detik berikutnya sesosok pemuda bertubuh tinggi dan tegap melangkah masuk. Matanya biru jernih, rambutnya hitam dan wajahnya terlihat bersahabat dan ramah. Ia mengenakan kaus lengan panjang berwarna biru pucat serta celana panjang. Tanpa memedulikan tiga pasang mata yang menatapnya dengan terkejut, ia meletakkan buket bunga mawar itu di meja rias Destiny.

“Ingat aku?”

“Apa yang terjadi padanya?” Destiny duduk dengan kaki bersila di apartemen tempatnya dulu tinggal, masih bersama Abram dan Rachel. Apartemen itu lebih sering kosong daripada ditempati, tapi Destiny tidak menjualnya karena di saat-saat kembali ke Louisiana seperti sekarang, ia tetap menginap disini.

Abram mengusap rambutnya. “Well, seperti yang kalian tau, Paris adalah kota mode. Seorang geek seperti dia sekalipun bisa berubah drastis setelah mencium udara segar kota asalku itu.”

“Sadarlah,” Rachel mengetuk kepala Abram sambil tertawa. “Tapi—ia benar juga, Des. Nah... jujur saja, ia terlihat keren sekarang. Jauh lebih keren dari Rodd yang tak pernah mengubah gayanya sejak lulus SMA.”

Destiny tertawa mendengar perbandingan Rachel. Setelah kedua temannya pulang, Destiny membuka lacinya dan menemukan secarik kertas yang sudah menguning. Entah darimana, tapi ia teringat pernah menyimpan kertas pemberian Seth dalam laci ini.

“Aku nyaris tak mengenalimu lagi,” ucap Destiny sambil tertawa kecil. Ia duduk di kafe kecil dekat apartemennya bersama Seth, yang, tentu saja, sangat berbeda dengan Seth yang membuntutinya empat tahun yang lalu. “What has Paris done to you?”

“Yah... sedikit perubahan disana-sini, itu saja,” jawab Seth pendek. Destiny membalasnya dengan satu senyuman. Kenapa tiba-tiba saja ia merasa isi kepalanya berdengung dan panas?

“Kapan kita bisa bertemu lagi?” kata Seth ramah. Pertanyaan itu malah membuat Destiny senang. “Aku? Ya, kapan saja. Aku masih akan di Louisiana selama seminggu. Jadi—“

“Aku akan mengenalkanmu pada Selene.”

“Pada siapa?”

“Selene. Teman sekolahku semasa di Paris. Dialah yang—ermm—merombakku seperti ini. Ia akan menyusulku kemari besok. Kurasa ia akan cocok denganmu. Kalian berdua memang mirip—berambut pirang, menarik, selalu percaya diri, dan—sangat... solitary.”

“Mengerjakan segala sesuatu sendirian tanpa butuh orang lain?” gumam Destiny, teringat pada percakapan mereka sebelum Seth pergi ke Paris. Tapi kenapa kenyataan bahwa Seth sekarang sudah memilikki kekasih malah membuat Destiny lemas?

Destiny menutup bukunya dengan kasar dan melemparkannya ke samping ranjang. Buku itu tempat Destiny menyimpan lagu-lagu karangannya sendiri—buku penuh coretan, robekan kertas, dan tulisan tangan yang kasar—namun dari buku itulah lagu-lagu Destiny yang mendunia diciptakan. Di saat-saat ia bebas jadwal seperti sekarang biasanya Destiny bisa menulis banyak lagu sekaligus, tapi sekarang ia sudah melewati tiga hari tanpa mampu menuangkan sebait lirik pun.

“Memang seperti apa tipemu? Aku bisa mengusahakannya.”

“Kalau ada seorang laki-laki yang bisa membuatku merasa aku tidak bisa melakukan apapun tanpa dia... dialah tipeku.”

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Destiny, ia mengenal kata penyesalan dengan cara yang tak diinginkannya.


”Destiny pasti senang sekali karena kalian semua menyempatkan diri datang ke konser terakhirnya sebelum tur ke Eropa.”

“Ya, Bram. Kalau dia senang, dia takkan menyembunyikan diri dari kami semua,” gerutu Seravina sebal. Abram menjauh dari pintu dressing room yang tertutup dan berbisik, “Sebenarnya Destiny sedang dalam kondisi yang—eh—menyedihkan.”

Teman-temannya mendekat, dan Abram menceritakan kisah singkat kembalinya Seth ke Louisiana. Theo menanggapinya dengan tertawa keras-keras. “Aku tak percaya,” serunya. “Akhirnya ada yang bisa membuat si kepala batu, si hati beku itu hancur berkeping-keping dan menangis.”

“Jangan melebih-lebihkan fakta,” Rodd ikut tertawa. “Dan kurasa Seth akan hadir di konsernya malam ini, bukan?”

Abram berkedip. “Tepat sekali.”

Destiny berlari kembali ke tengah panggung. Ia sudah menyelesaikan empat lagu hits-nya yang semuanya melibatkan lompatan, tarian, dan gerakan lincah. Kini dengan sedikit terengah-engah, Destiny menggenggam mikrofon di mike stand sementara sebuah lampu sorot putih menyinari sosoknya. Para penonton terdiam, menunggu kejutan dari Destiny selanjutnya.

“Lagu berikutnya kuberikan untuk seorang teman yang kukenal empat tahun yang lalu,” ucap Destiny dengan lancar dan terus terang seperti biasa. Beberapa penonton mengucapkan ‘uh’ dan ‘wow’ dengan iseng, dan Destiny tersenyum kecil meresponi mereka. “Teman itu mengajariku untuk menghargai apa yang saat ini ada disamping kita—tak peduli betapa menyebalkan, betapa mengganggu, dan betapa... betapa bodohnya hal itu.”

“Dan lebih dari itu semua, teman itu mengajariku kalau aku... I’m amazing just the way I am.” Destiny berhenti sebentar. Ia melihat sosok Seth ditengah-tengah kerumunan penonton di baris depan. Ia berbisik di mikrofonnya, “Terima kasih.”

Intro lagu yang jelas-jelas ber-genre country itu membawa dua pengaruh bagi para penonton. Pertama, mereka cukup bersemangat karena yang memimpin background music lagu itu adalah Rodd, salah satu gitaris paling terkenal di seluruh Amerika dan bahkan di seluruh dunia. Banyak kabar menyebutkan kalau Rodd dan Destiny adalah teman akrab. Penampilan Destiny kali ini membuktikan kebenaran kabar itu. Yang kedua, di sisi lain mereka cukup kecewa karena mereka yakin lagu country sama sekali bukan lagu Destiny. Kalau begitu Destiny pasti menyanyikan lagu penyanyi lain.

I'm so glad you made time to see me
How's life? Tell me how's your family
I haven't seen them in a while…


I've been good, busier than ever
We small talk, work and the weather
Your guard is up and I know why…

'Cause the last time you saw me
Is still burned in the back of your mind
You gave me roses and I left them there to die…

Destiny menggenggam mikrofonnya lebih keras saat ia memasukki refrain lagu itu. Ia harap, Seth menangkap kata-katanya di bait ini.

So this is me swallowing my pride,
Standing in front of you saying ‘I'm sorry for that night’…
And I'd go back to December all the time…
It turns out freedom ain't nothing but missing you,
Wishing that I'd realized what I had when you were mine…
I'd go back to December, turn around and make it alright…
I go back to December all the time…

Bulan Desember empat tahun lalu memang saat terakhir ia bertemu Seth. Saat Seth memberikan lukisan wajahnya yang dibuat Seth khusus untuknya. Saat Seth berkata ia bisa berusaha menjadi laki-laki seperti yang Destiny inginkan. Saat Destiny menegaskan bahwa ia takkan menyukai Seth, dan bahwa Seth harus bisa melupakannya saat berada di Paris…

These days, I haven't been sleeping,
Staying up playing back myself leaving,
When your birthday passed and I didn't call…


And I think about summer, all the beautiful times
I watched you laughing from the passenger side,
Realized I loved you in the fall…


And then the cold came, the dark days when fear crept into my mind,
You gave me all your love and all I gave you was goodbye…


Ternyata semua permintaannya pada Seth saat itu sudah dikabulkan. Seth sudah melupakan Destiny. Seth sudah menemukan pengganti Destiny, seseorang yang menerima Seth apa adanya, seseorang yang berhasil membuat Seth melupakan sifat pemalunya itu…

I miss your tan skin, your sweet smile, so good to me, so right…
And how you held me in your arms that September night,
The first time you ever saw me cry…


Maybe this is wishful thinking,
Probably mindless dreaming,
If we loved again I swear I'd love you right…

I'd go back in time and change it ,

But I can't…
So if the chain is on your door, I understand…


Tanpa disadari Destiny, seluruh penonton ikut melambaikan tangan mereka mengikuti tempo lamban lagu Taylor Swift yang dinyanyikannya itu. Sekilas, Destiny melihat wajah Seth. Seth berdiri disamping Selene, namun tatapan mata Seth tertuju pada Destiny. Bukan tatapan mata Seth yang lama, tatapan yang sudah pernah diberikan belasan laki-laki lain pada Destiny, tatapan yang membuat Destiny merasa ia tak membutuhkan mereka, melainkan merekalah yang membutuhkannya. Tatapan Seth saat ini berbeda. Tatapan Seth lebih-kurang berarti, “Aku sudah berhasil melupakan perasaanku padamu, seperti yang kau minta dulu. Kuharap kau senang…”

But this is me swallowing my pride,
Standing in front of you saying ‘I'm sorry for that night’…
And I'd go back to December…


It turns out freedom ain't nothing but missing you,
Wishing that I'd realized what I had when you were mine…
And I’d go back to December, turn around and make it alright…
And I’d go back to December, turn around and change my own mind…
And I go back to December all the time…


Tepuk tangan panjang mengakhiri lagu itu. Destiny tersenyum pada penggemar-penggemarnya, sambil berharap rasa menggelitik yang tiba-tiba dirasakannya di kedua pipinya bukanlah karena aliran air mata.

[based on: Back to December – Taylor Swift]

you never know what you got til it's gone; you never know what you miss til it arrives :))