Wooden Doll Serenade


.

*romantic mode on*

Bermalam-malam sudah aku disini, berhari-hari aku berbaring sendirian disini. Mendengar nyanyian burung hantu yang beruhu-uhu di tepi telingaku, diiringi paduan suara ribuan dedaunan dan hembusan angin.

Selama bertahun-tahun, aku sendirian, di rumah tua ini. Setiap kali kulihat rombongan orang-orang memasuki kamar tempat aku berbaring, yang mereka katakan, selalu sama.

"Ya ampun, lagi-lagi boneka kayu itu."

"Awet banget ya, sampai sekarang masih ada."

"Jelek sekali, kenapa sih Nyonya Lucy Tua tak pernah mencampakkannya ke perapian?"

Hey, aku sendiri heran. Nyonya Lucy Tua, begitulah semua orang memanggil wanita parobaya berambut kelabu dan bergaun ungu yang mengurus rumah tua ini, tak pernah membuangku. Ia adalah kolektor barang-barang antik yang tinggal sendirian. Seringkali, pria-pria berbadan kekar dan kuat memasukki kamar ini, atau yang sering Nyonya Lucy Tua perkenalkan pada tamu-tamunya sebagai "Ruang Koleksi"-nya, datang membawa barang-barang antik indah yang entah darimana datangnya. Sesekali mereka menggotong meja besar berukir indah, yang menurut Nyonya Lucy datang dari kerajaan Denmark tahun 1500-an. Seringkali juga ada ladam kuda berwarna cokelat tua yang dibawa kesini.

Dan aku, aku hanya boneka kayu tua yang terbaring ayu diatas meja kayu ek. Di sebelah kiri ku, ada boneka seorang gadis gembala yang sangat cantik, gaun dan topinya serasi, dan tangan kanannya yang manis menggenggam sebuah tongkat gembala. Ia sangat cantik, tapi seringkali bola matanya yang berkilauan diterangi cahaya bulan Oktober melirikku dengan sinis.

"Gadis pemain harpa? Apa bagusnya," begitu katanya dengan nada meremehkan. Memang, aku kalah jauh dengannya. Rambutku sudah kotor oleh debu, sedangkan harpaku pun sudah berkarat. Aku hanya bisa membalas tatapannya yang sinis dengan sayu. Andai kedua mata itu menatapku dengan hangat dan penuh bersahabat, ia pasti terlihat jauh lebih cantik.

Sepanjang tahun tamu-tamu Nyonya Lucy Tua tak henti-hentinya mengagumi si Gadis Penggembala Domba, dan bukan aku..

---

"Nah, ini kamar barumu, Dave. Semoga kamu suka ya, sayang."

Kudengar langkah-langkah sepatu Nyonya Lucy Tua ke kamarku. Setelah itu ada suara langkah lain.. kali ini, samar-samar, bukannya beriringan dan ramai seperti biasa.

"Haah, iya, Bibi," terdengar sebuah suara dalam menyahuti.

Detik berikutnya, Nyonya Lucy Tua melangkah masuk. Aku mengintip dibalik uraian rambutku. Dibelakangnya ada sosok yang belum pernah kukenal.

Ah, masa, sih?

Sepertinya aku pernah mengenal dia.

Tapi dimana? Para tamu? Tak mungkin. Belum pernah kulihat tamu semuda dia. Anak muda seusia dia, mana mungkin berminat pada bangunan-bangunan tua dan barang-barang antik. Atau kerabat Nyonya Lucy Tua, yang pernah berlibur kesini musim dingin lalu? Ah, tidak mungkin juga, mereka semua hanya orang dewasa dan empat anak kecil.

Jadi, dia, siapa?

---

"Ya, ya, Bibi tau ini bukan rumah mewah seperti di San Didi--anu--"

"San Diego," potong si pemuda dengan nada tak sabar.

"San Diego, aku tau itu, sayang," kata Nyonya Lucy Tua mendecak lidah. "Tapi Ibumu sendiri bilang, kamu perlu sedikit merasakan the country life. Mengerti kan Dave?" Bukan hanya seorang Mama loh yang bisa bawel.

"Apa kata Bibi."

---

Kemudian si wanita tua meninggalkan kamar itu. Pemuda itu, yang dipanggil Dave, merebahkan diri di pembaringan, dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit miring kamar itu. Lalu ia menghembuskan napas.

Hembusan napas itu, suara itu, tatapan itu... Semuanya terasa familier. Aku sekarang seratus persen yakin, aku mengenalnya. Ah, rasa penasaran ini benar-benar mengaduk-ngaduk pikiranku. Sialan.

Diam-diam aku memperhatikannya. Rambutnya yang coklat tua acak-acakan sampai ke kening, matanya yang hijau keabuan sama sekali tak berkedip. Jangan berkedip, pintaku keras-keras, walau aku tau ia takkan bisa mendengarku, sebab aku sangat menyukai kedua bola mata indah itu. Pemuda itu kelihatan berantakan dengan kaus tipis yang dilapisi kemeja coklat muda yang lengannya digulung sampai sikut. Bukan hanya berantakan, tapi juga agak, well... sedih.

"Kamu memperhatikan dia, eh?" sebuah suara congkak menyapaku.

"Mmm," kataku ogah-ogahan. Si Gadis Penggembala Domba terkekeh. "Ya, dia ganteng banget. Heran, wanita tua yang nggak laku kayak Lucy bisa punya keponakan sesempurna itu."

Begitu mudahnya si Gadis Penggembala Domba mengata-ngatai Nyonya Lucy Tua yang sudah begitu baik merawatnya. Aku merengut. "Tapi, dia keliatan sedih, ya?"

"Si pemuda? Iya, bodoh. Kamu nggak denger tadi, Lucy berkata kepadanya, untuk nggak sedih-sedih. Berarti, ya dia lagi sedih, tau."

Aku tersenyum tipis. "Rasa sedih itu seperti apa sih, Shana?" Gadis Penggembala Domba itu bernama Shana.

"Mana aku tau?" Shana melotot. "Kurasa sudah saatnya ada boneka yang dilengkapi hati. Atau pikiran. Atau perasaan."

"Sst," bisikku. "Dave melangkah kearah kita."

Memang. Pemuda itu bangun dari pembaringan dan berjalan kearah meja ek. Matanya pertama tertuju pada si Shana. Dengan lembut dibelainya topi gembala Shana. Tapi dengan cepat matanya langsung tertuju kearahku.

"Ini..."

Dave termangu sendiri. Aku bisa melihat air mukanya berubah. Tak disangka-sangka tangan kanannya mengangkatku dari meja, dan ia menatapku dalam-dalam. Lama sekali ia terdiam begitu saja, tanpa melepaskanku dari genggamannya.

Genggaman itu, sentuhan itu...

Semuanya jelas terpatri diingatanku. Ya, aku tau sekarang!

---

Dua tahun yang lalu.

Dave waktu itu menggenggamku dengan cara yang sama, berlari melintasi pekarangan depan. "Harriet!!" serunya kencang. "Harriet!!"

Kami berhenti didepan sebuah rumah besar, kerumunan orang mengelilingi halaman depan. Dave terperangah.

"Harriet..." desisnya khawatir. Ia makin panik sewaktu sebuah tali kuning panjang bertuliskan police line menghalanginya masuk ke rumah gadis bernama Harriet itu.

"Cari apa Anda? Apakah Anda anggota keluarga yang bersangkutan?" tanya seorang pria berseragam biru.

"I-iya," jawab Dave ragu-ragu. "Ada gadis yang tinggal disini... dia, dia kekasih saya."

"Gadis?" polisi itu menatapnya suram. "Gadis berumur sekitar 19 tahun?"

Melihat sinar mata si polisi mulai redup, Dave menjawab dengan lesu, "I..iya."

Aku ingat benar. Tangan Dave yang menggenggamku erat, melemah.

"Maafkan saya, Sire. Rumah ini baru saja mengalami kebakaran hebat dua jam yang lalu. Ibu rumah tangga yang sedang di dapur, sudah diangkut ke rumah sakit, luka ringan. Tapi gadis muda yang sedang di kamarnya, tak tertolong lagi."

---

Sekarang tangan Dave yang menggenggamku basah oleh air mata. Ia meletakkanku diatas dasbor mobilnya. Cukup ajaib bagaimana ia berhasil menyetir mobilnya dengan benar, padahal wajahnya begitu kosong. Pucat. Tatapan matanya pedih dan menyakitkan hati.

"Aku nggak percaya," gumam Dave pelan. Seorang gadis pirang disebelahnya hanya tersenyum prihatin. "This is life as you know it, Dave. Some things go right some things go wrong..."

Dave tersenyum pahit. "Proud to call you my sister, Jade," katanya, mengangkat sebelah tangannya dan menepuk tangan adiknya itu dengan sayang. "Tapi ini... sama sekali diluar dugaan. Nggak mungkin Harriet meninggal secepat ini.."

Ia terdiam beberapa saat. Kemudian, suara Jade yang tenang dan menyejukkan mengisi kekosongan itu.

"Boneka itu cantik," kata Jade, tangannya menunjuk kearahku, yang dengan diam memperhatikan mereka berdua.

"Sewaktu aku masih belajar di Spanyol, aku beli boneka itu buat Harriet," terang Dave datar. "Tau sendiri, Harriet gemar barang-barang antik begitu. Apalagi, boneka gadis pemain harpa, sama seperti dia."

"Kalau boleh, aku mau menyimpannya!" seru Jade bersemangat. "Kau tak pandai mengurus barang antik."

"Jangan main-main," tukas Dave. "Tak akan. Aku akan mengabadikan boneka itu,"--Jade langsung mencibir saat itu--"tau nggak? Aku membeli itu, udah lama banget. Aku menyimpan boneka itu di kamarku setiap harinya. Kalau boneka itu manusia, pasti boneka itu udah terpesona setengah mati," sambungnya pede, tak sadar bahwa perkataannya sungguh tepat.

"Kau tau? Hari ini hari ulang tahun Harriet. Seharusnya boneka itu jadi hadiahku untuknya," Dave setengah berbisik, menahan air mata yang mulai menggenangi pelupuk matanya.

"Ngomong soal Harriet lagi, siap-siap," ancam si pirang, mengepalkan tinju. "So, dimana kamu bakal 'mengabadikan' boneka itu?"

Dave tersenyum misterius, melemparkan pandangan lagi kepadaku.

"Rumah Bibi Lucy."

"Bibi gila kita yang salah masuk keluarga?" hina Jade. Dalam. "Penyuka--atau, maniak--barang-barang antik itu?"

Dave mengangguk. Mobil berhenti di sebuah bangunan tua, suram, dan terlihat setengah tertidur, dan kesepian. Mirip sebuah kastil mini.

Dave naik ke ruang atas. Di ruangan sebelah, terdengar suara bercakap-cakap seorang wanita dengan serombongan tamu.

"Lukisan ini dibuat pada jaman Raja Louis VII. Buatannya antik, dan..."

Dave menyelinap masuk sebuah kamar, dan mendekati sebuah meja yang berwarna cokelat gelap yang berdebu. Ia meletakkanku tepat diatas situ dan mencium tanganku yang mungil.

"Maaf," bisiknya pelan. "Takkan mungkin aku membawamu ikut denganku saat aku kembali ke Spanyol nanti. Membawamu ikut denganku beserta seluruh kenangan tentang Harriet..." ia menggelengkan kepala keras-keras. "Suatu waktu aku pasti kembali."

Dan tanpa menoleh kearahku sedikit pun ia bergegas meninggalkan kamar dengan kepala tertunduk kebawah.

---

"Harriet."

Suara Dave membangunkan lamunanku. Tangannya masih tetap menggenggamku erat-erat. Kemudian ia meletakanku lagi diatas meja dan berbaring. Matanya langsung terpejam.

Dengan sangat perlahan kugerakan jari jemariku, memetik senar harpa kecilku. Shana, si Gadis Penggembala Domba, menoleh kearahku. "Lama nggak denger kamu main," katanya, sedikit tersenyum. "Itu bagus."

Aku menggeleng. "Itu yang terbaik," kataku. Kuharap, Dave bisa terlelap dan mendengar laguku ini. Good night, my prince, this is my best serenade for you...

Post a Comment