Wish Pond
.
Prolog
Suara kerikil yang menimpa permukaan kolam yang semula tenang itu langsung memecahkan malam yang semula hening. Sedikit dari air di kolam itu mengenai rambut dan wajahnya. Sedikit, namun cukup untuk membuatnya menggigil kedinginan dan merapatkan mantelnya sambil mengeluh.
Gadis itu kembali mengambil sebuah batu kerikil yang tercecer di tanah, lalu menggenggamnya di telapak tangan. Matanya terpejam. Setelah beberapa detik, ia kembali melemparkan kerikil itu kedalam kolam. Karena lama setelah itu tidak ada yang terjadi juga, ia melemparkan kerikil ketiga kedalam kolam itu.
Ia yakin rembulan yang tergantung di langit yang sepi sedang menertawakannya saat ini. Menertawakan kebodohannya, menertawakan kepicikannya.
Tiga tahun adalah waktu yang lama.
Tidak mungkin kejadian itu terulang lagi.
Tidak mungkin ia mendapatkan apa yang ia inginkan...
Siapa yang ia inginkan.
Bab 1
Aku membuka jendela kamar yang sempit itu sambil bersungut-sungut. Lebih tepatnya, aku mencoba membuka jendela yang sudah karatan dan tua itu. Setelah kusentakkan berkali-kali, akhirnya jendela itu terbuka dengan bunyi keras.
Angin dingin langsung menerpa wajahku. Lebih dingin dari yang kuharapkan, tapi setidaknya aku memilih masuk angin daripada terkurung di oven raksasa ini. Kalau saja aku saat ini berada di rumah, aku sudah tau pasti keadaanku: berada dalam kamar besar dengan fasilitas full AC dan perabotan mewah, lalu duduk di ranjang dengan iPad di pangkuanku.
Sayangnya, harapan itu tidak sepenuhnya benar. Karena pada kenyataannya disinilah rumahku. Tempat asalku.
Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan kamar. Setelah menuruni tangga kayu yang curam, suara yang sangat familier menyambutku.
“Lapar? Papa tadi memasak omelette,” kata Papa dengan nada riang. Aku memutar mataku. Yang disebut omelette oleh Papa tentu saja bukan omelette yang merupakan makanan favoritku bila sedang berada di New York City—omelette dengan isi daging asap, jamur serta keju, melainkan telur dadar yang sangat biasa, nyaris hambar, tanpa topping apa-apa.
“Tidak, terima kasih,” kataku singkat, meskipun perutku sudah berteriak-teriak minta diisi. Yang membuatku malas makan bukan hanya menu makanannya saja—tapi kenyataan bahwa setiap sehabis makan aku harus mencuci setiap piring dan sendok yang kugunakan. Ini membuatku memilih untuk menahan lapar dan hanya makan seperlunya. Karena pada nyatanya aku bukan orang yang terbiasa melakukan segalanya sendirian.
“Aku hanya bosan, Pa. Aku keluar sebentar, ya?” tambahku. Papa tersenyum setuju. “Kau yakin tak akan tersesat?”
“Desa seperti Laverne Lawn sama sekali tidak besar, Pa,” tukasku tanpa banyak berpikir. “Dah.”
Papa tak menjawab, tapi aku mendengarnya menghembuskan nafas panjang setelah aku meninggalkannya.
Namaku Aristelle. Umurku saat ini 17 tahun. Dua tahun yang lalu, aku menyelesaikan sekolahku karena aku berhasil melongkap beberapa tingkat dari yang seharusnya kujalani. Aku tidak kuliah. Kuputuskan untuk menghabiskan masa mudaku untuk mengejar mimpi yang telah kurajut baik-baik sejak usiaku masih sangat belia—menjadi model terkenal. Dan aku berhasil mencapai mimpi itu. Aku tinggal sendiri di kota New York sampai—yah, sampai aku entah kenapa disuruh kembali ke tempat tinggal ayah dan kakakku, di Laverne Lawn, sebuah desa kecil di Tennessee.
Masa kecilku tak kuhabiskan di desa kumuh ini. Dulunya keluarga kami tinggal di Ohio. Namun entah kenapa keuangan kami mengalami kemunduran yang memaksa kami pindah ke tempat seperti ini. Dimana tidak ada fasilitas yang memadai—dimana-mana hanya ada dataran hijau yang luas, tanpa gedung-gedung pencakar langit, dan udara hampir selalu panas di siang hari. Untunglah aku tidak harus menetap disini karena sekolahku. Dan setelah aku lulus, tentu saja aku cukup berotak untuk memilih mencari peluang karir di New York daripada tempat semacam ini.
Dan kini, setelah terbiasa dengan the bling-bling life of New York City, entah kenapa aku diminta kembali kesini dan menetap selama beberapa waktu. Jadi jangan salahkan aku jika sikapku selama disini tidak bisa dinilai baik.
“Mau kemana?”
Aku berhenti berjalan dan mencari sumber suara itu. Sepertinya suara itu dari... atas?
“Disini, anak bodoh,” suara itu datang lagi, kali ini semakin jelas dan familier. Lalu detik berikutnya Aaron, kakak laki-lakiku meluncur turun dari atap rumah dengan santai dan berdiri di sampingku.
“Jalan-jalan,” jawabku. “Tau tempat yang menyenangkan untuk kudatangi?”
Aaron mengangkat alisnya. “Kalau saja kau menanggalkan pakaianmu dan mengenakan pakaian overall atau kaus longgar, tentu saja ada banyak tempat yang bisa kaudatangi. Tapi menurutku kurang sehat jika seseorang dengan produk-produk Chanel terbaru dari kepala hingga kaki menunggang kuda, membersihkan lumbung atau menonton pasar malam.”
“Apakah kau baru saja berkata membersihkan lumbung?” kataku dengan nada yang dibuat sejijik mungkin. Aaron tertawa. “Untuk menambah penghasilan, pekerjaan itu cukup lumayan. Mungkin sekali-kali aku harus mengajakmu memerah susu sapi. Triknya adalah bernyanyi riang—hasilnya pasti luar biasa.”
“Diamlah,” sahutku datar. “Tempat ini gila, Aaron. Tidak ada internet, tidak ada mal, tidak ada—“
“Kita punya TV,” cengir Aaron. Aku membalasnya dengan satu dengusan. “Hanya sekitar tiga saluran TV bisa dijangkau dari tempat terpencil seperti ini—itu pun sama sekali tidak menarik. Aku—“
“Kau bisa ke Wish Pond,” potong Aaron tiba-tiba. Nama itu sama sekali asing di pendengaranku. “Apa itu, Wish Pond?”
“Aduh, Elle,” Aaron mendesah. “Tentu saja Wish Pond tepat seperti namanya. Wish—angan-angan, Pond—kolam! Kolam Angan-Angan, Kolam Harapan, Kolam Mimpi, terserah padamu yang mana yang menurutmu paling bagus didengar. Kolam itu dulunya air mancur yang indah, landmark kebanggaan desa ini, letaknya di taman besar yang tidak terlalu jauh dari rumah ini.”
“Oke,” aku berusaha menunjukkan pada Aaron kalau aku tidak tertarik, tapi sepertinya Aaron tidak peduli. Ia tetap bercerita. “Sekarang taman itu sudah lama dilupakan orang, sedangkan air mancurnya pun sudah tidak berfungsi dengan baik lagi, jadi yang ada hanya kolam biasa yang sudah tua. Tapi takhayul di desa ini menyebutkan kalau—“
Begitu kata ‘takhayul’ disebutkan oleh Aaron, aku memasang tampang seperti makhluk paling sengsara di dunia, tapi itu tidak membuat Aaron berhenti. “Kolam itu bisa mengabulkan harapanmu tiga kali. Lempar batu kerikil biasa kedalamnya, dan lihatlah keajaiban apa yang akan terjadi padamu. Banyak orang di desa ini sudah mengalaminya. Ini bukan takhayul biasa.”
“Kau sendiri?” tantangku. Aaron tersenyum misterius. “Itu rahasia untuk kusimpan dan untuk kau cari tahu, adikku yang manis.”
“Gaya bicaramu semakin mirip orang desa,” komentarku spontan. “Aku tidak peduli kolam itu ajaib atau tidak—pokoknya aku tidak mau mati bosan malam ini. See you!”
“Kau benar-benar mau mendatangi kolam itu?” seru Aaron saat aku mulai pergi menjauh.
“Tentu saja tidak!”
Tapi pada kenyataannya aku tetap mendatangi kolam itu. Mungkin karena kolam itu sama sekali tidak sulit dicari di tengah malam gelap seperti ini. Ternyata kolam itu memang terlihat sangat tua. Ada patung malaikat cherub mungil yang memegang panah berbentuk hati. Kurasa dari panah itulah air mancur dulunya tercurah. Sekarang patung itu sudah terlihat tua, tapi tetap indah kalau diterangi sinar bulan seperti ini. Malaikat itu nyaris terlihat hidup dan sebuah perasaan aneh timbul di hatiku—perasaan yang biasa kau dapatkan saat sedang berdoa dengan sepenuh hati di gereja, atau sedang berada diantara keadaan tidur dan terjaga saat kau sakit demam tinggi. Diantara kedua itu.
“Tidak ada salahnya,” batinku. Aku berjongkok dan memungut sebuah batu kerikil dan mengepalnya di telapak tanganku. Aku memejamkan mata.
Kuharap, aku tidak akan mati bosan di Laverne Lawn.
Aku melemparkan batu itu kedalam kolam dan mengumpat. Permintaan macam apa itu? Terdengar sangat—buruk, sama sekali tidak indah. Aku kembali meraba-raba tanah dan mencari batu lain, dan melakukan ‘ritual’ yang sama.
Kuharap, aku bisa tau kenapa aku harus kembali ke tempat ini.
Air kolam itu menyiprat ke pakaianku. Sepertinya permintaan itu tidak seburuk yang pertama. Aku mencari batu lain. Ini permintaan ketiga—permintaan terakhir. Aku harus menggunakan kesempatan terakhirku sebaik mungkin.
Kuharap, aku tidak akan merasa kesepian lagi disini.
Aku mengulang kalimat itu berkali-kali didalam hatiku sebelum melepaskan kerikil itu kedalam kolam. Aku menatap permukaan kolam itu yang, ajaibnya, langsung menjadi tenang meskipun kerikil itu baru kulemparkan beberapa detik yang lalu.
Aku mengangkat wajahku dan menatap mata patung malaikat itu, “Aku sudah melakukan bagianku. Berharap. Kini, lakukanlah bagianmu. Kabulkanlah...”
Bab 2
Bangunan berlantai satu dihadapanku itu tidak memilikki papan nama, tapi aku cukup yakin dari suasana yang terlihat dari pintu kacanya bahwa tempat ini sebuah pub. Ada meja kayu panjang dan rak dengan berbotol-botol minuman keras. Seorang pria bertampang mengantuk sedang melayani beberapa tamu yang duduk di hadapan meja dengan wajah yang sudah memerah. Tapi suasana di sisi lain ruangan itu terlihat cukup aman—hanya beberapa meja dan kursi yang hanya diisi sebagian, oleh pelanggan-pelanggan yang tidak terlihat berbahaya pula—kebanyakan dari mereka sepertinya perkumpulan teman. Aku memutuskan untuk masuk.
Sambil meneguk Martini yang baru saja kupesan, perhatianku teralih ke tengah-tengah pub itu. Aku mencibir. Di tempat kampungan seperti ini masih ada pengisi acara, ya? Aku melihat seorang pemuda yang duduk di belakang sebuah piano tua. Letaknya diatas sebuah panggung bulat kecil yang dilapisi karpet merah tua. Pelanggan-pelanggan pub itu secara serempak berhenti melanjutkan kegiatan mereka dan memandangnya.
“Selamat malam,” sapa pemuda itu dengan nada ramah. Ia menyapukan pandangannya sekeliling ruangan ini. Pemuda itu mengenakan kemeja abu-abu yang sangat biasa dan celana jeans. Rambutnya kecokelatan, sedikit panjang dan acak-acakan, dan matanya hitam. Tampang pemuda ini lumayan, namun aku yakin ia hanya seorang musisi murahan yang sangat membutuhkan uang sampai mau mempermalukan diri bekerja di pub kelas bawah seperti ini.
“I’ve worked something out to accompany your night. Jadi... nikmatilah.”
Ia memainkan tuts di piano dan aku langsung bisa mengenali nada-nada yang ia mainkan. Intro sebuah lagu yang kusukai, bukan lagu murahan seperti yang kuduga akan ia mainkan. Tidak diiringi dengan drum, bass, gitar elektrik atau alat musik modern lainnya—tapi kenyataan itu malah membuat lagu itu semakin bagus. Ia mulai bernyanyi.
What if?
What if I'm the one for you?
And you're the one for me?
What if…
If you are the one,
Then us meeting here is fate
Future with a dog named Red,
Buy a house with a fireplace
This is the first I've seen your face,
But there's a chance we are soul mates
I know that this might sound crazy
'Cause you don't know my name…
Oke, itu bukan sesuatu yang kuharapkan akan dinyanyikannya. Tapi ia menyanyikan lagu ‘What If’-nya Jason Derulo itu bukan hanya dengan lancar, tapi juga dengan suara yang—bagus. Ia sama sekali tidak terlihat seperti penyanyi rendahan. Aku malah merasa, kalau pemuda ini merombak penampilannya sedikit saja, ia akan terlihat seperti penyanyi dunia sungguhan.
But we can't, we can't tell the future, no
But that's just the beauty of the world we know
So I'ma say du, du, du-du, du-du, du-du, baby, what if?
We all can say du, du, du-du, du-du, du-du, baby, what if…
Don't know what tomorrow brings,
But I'm still hoping that you are the one for me…
Oh, and what if I had you and what if you had me
And, baby, what's the reason we can't fall in love?
What if? What if? What if?
What if? What if…
But we can't, we can't tell the future, no
But that's just the beauty of the world we know
So I'ma say du, du, du-du, du-du, du-du, baby, what if?
We all can say du, du, du-du, du-du, du-du,
Baby, what if…
Aku menyeret diriku dengan malas untuk bangkit dari kursi yang sudah kududuki selama lebih dari satu jam ini dan melangkah ke meja kasir. Aku tidak menikmati pub ini sama sekali, tidak—tidak minumannya, tidak suasananya—tapi aku juga malas kembali ke rumah, jadi aku memilih untuk tinggal lebih lama. Sekarang, dalam keadaan tubuh super lemas dan mengantuk, aku mengaduk-aduk isi tasku untuk mencari dompet.
“Ini,” kataku meletakkan selembar $100 di meja kasir. Pria yang mengurus pembayaran di tempat itu menggeleng. “Uang kecil?”
Aku mendengus dan membuka isi dompetku didepan matanya. Aku cukup yakin ia melihat kalau setiap lembar uang di dompetku adalah pecahan $100.
“Aku tidak punya kembalian sebanyak itu,” jelas pria itu dengan nada ditarik-tarik. “Kembalilah besok dan aku akan membayar uang kembaliannya.”
“Kembali besok?” tukasku. “Dan bagaimana aku bisa yakin kalau kau akan mengembalikan uangku? Bagaimana kalau kau memilih kabur dengan $100 yang baru saja diturunkan surga untukmu malam ini?”
Pria itu merengut. “Aku bekerja disini setiap malam,” tegasnya. “Kembalilah besok.”
“Aku tidak percaya padamu,” aku meninggikan nada suaraku. “Karena aku tau orang-orang seperti kalian tidak akan mau melepas selembar $100 yang jatuh ke tangannya!”
“Ada apa ini?” Sebuah suara rendah memotong omelanku. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan bila uangku tak dikembalikan seperti seharusnya. Aku hanya ingin menunjukkan pada pria malang ini—dan siapapun yang mungkin mendengar pembicaraan kami—bahwa aku satu tingkat lebih tinggi daripada setiap penghuni Laverne Lawn. Itu saja.
Aku menoleh kepada sosok yang berbicara tadi. Ah—penyanyi itu. Aku harus mendongak untuk bisa melihat wajahnya secara langsung. Ternyata tanpa duduk di piano, ia memilikki postur tubuh yang tinggi. Tapi aku tidak yakin aku bisa memasang sikap lunak padanya kalau ia juga mendukung teman miskinnya yang duduk di meja kasir ini.
Si penjaga kasir menjelaskan duduk perkaranya dengan cepat. Pemuda itu mengangguk mengerti, lalu menatapku dan tersenyum. Kupikir ia akan membuka mulut dan berceramah soal bagaimana pekerja-pekerja di pub ini semuanya berhati jujur dan berakhlak baik, tapi ia hanya merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sejumlah uang yang cukup untuk membayar minumanku. “Ini saja, Tom,” ia meringis. “Kau sudah mendengar lady ini—ia tidak terlalu mengenal istilah uang kecil.”
Perkataannya itu membuat pipiku terasa panas. Aku pasti telah mempermalukan diriku sendiri dihadapan orang-orang ini—ya ampun! Kenapa aku bertindak tanpa berpikir begitu? Benar-benar bodoh, Aristelle.
Penjaga kasir itu menyimpan uang yang diberikan si pemuda, lalu menatapku tanpa ekspresi. Aku tak membalas tatapannya. Sambil bergumam tidak jelas, aku meninggalkan pub itu. Si pemuda berada tepat di belakangku.
“Terima kasih,” gumamku pelan. Pemuda itu tertawa. “Kau tidak berasal dari sini, ya?”
Aku terdiam. Kurasa itu sudah cukup menjadi jawaban. “Aku benar-benar—minta maaf. Ini,” aku menyerahkan lembar $100 yang tak jadi kuberikan pada si penjaga kasir kepadanya. Pemuda itu mendorong tanganku. “Tidak usah. Lain kali, cobalah menunjukkan sedikit rasa hormat dimanapun kau memijakkan kaki.”
Aku menundukkan kepalaku, malu. Tapi pemuda itu hanya tertawa. “Kau bukan satu-satunya orang asing disini.”
Aku langsung menatapnya dengan curiga. Seharusnya aku langsung sadar sejak pertama kali ia berbicara di meja kasir! Logatnya sama sekali tidak seperti orang desa—sama sekali berbeda dengan logat si penjaga kasir, atau logat Papa dan Aaron, yang sudah tertular kebiasaan dan tata cara orang-orang di desa ini. Ia juga menyanyikan lagu yang sama sekali tidak “kedesaan”.
“Kau dari kota?” celetukku langsung.
“London,” katanya dengan satu senyuman. “Aku tinggal di Barcelona selama lebih dari setengah hidupku, kemudian aku pindah ke Amerika—jadi jangan heran kalau logatku tidak seperti orang Inggris lagi. I’ve lost that.”
“Begitu,” responku singkat. Aku bertanya-tanya dalam hati kenapa ia mau saja meninggalkan Barcelona atau kota Amerika-nya—karena aku yakin ia tinggal di kota—dan pergi ke desa seperti ini. “Maaf sekali lagi—“
“Aku Camilo,” potongnya langsung. “Dan aku tidak membutuhkan maafmu lagi, tapi aku akan senang bila aku bisa mengetahui namamu.”
“Camilo?” entah kenapa, nama itu terdengar—“Aku tau nama itu terdengar konyol,” katanya langsung, “jadi semua orang memanggilku Milo.”
Mau tak mau aku tersenyum mendengar perkataannya. Milo juga nama yang lucu, dan kurasa aku bisa menyukainya. Menyukai namanya, maksudku, bukan Milo. “Aku Aristelle. Nama itu panjang, jadi semua orang memanggilku Elle.”
“Kalau boleh jujur, aku lebih senang dengan nama Aristelle,” Milo menjulurkan tangannya. Aku menerimanya dan menjabatnya dengan ramah. Insiden yang terjadi lima menit yang lalu langsung kulupakan.
“It’s okay for me,” balasku, lalu melepaskan tangannya. Milo menatap jalanan yang mulai sepi. “Dimana kau tinggal?”
“Eh, di—“ Aku baru sadar kalau aku sama sekali belum mengetahui alamatku sendiri. Atau, letak tepat rumahku. Lalu dengan suara yang jauh lebih pelan aku menambahkan, “Aku hanya tau jalan dari Wish Pond ke rumahku.”
Milo menatapku. “Kau yakin? Mau kutemani sampai Wish Pond?”
Aku langsung menggeleng. “T-tidak usah. Hehe. Aku bisa sendiri. Nah, aku pergi dulu, ya? Sampai nanti!”
Tanpa menunggu jawaban Milo, aku berjalan menyusuri jalan yang sudah sepi itu. Aku yakin jalan dari pub ini ke rumahku jauh lebih dekat kalau tidak harus melewati Wish Pond, tapi aku tidak punya pilihan lain. Desa ini terlalu kuno untuk dijangkau sinyal telepon sehingga tak ada gunanya menggunakan ponsel di tempat seperti ini.
Lagipula, siapa tau, semakin sering aku mengunjungi Wish Pond, malaikat cherub itu akan semakin senang padaku dan mengabulkan permintaanku.
Bab 3
Aku menelusuri foto demi foto di folder MacBook Air-ku dengan teliti. Kapan terakhir kali aku berpose didepan kamera dengan pakaian keluaran terbaru? Atau, berjalan diatas catwalk di kota-kota besar di dunia? Aku benar-benar merindukan hidupku. Aku meninginkan hidupku kembali.
“Foto-foto itu bagus.”
Tanpa kusadari, Aaron sudah berdiri di ambang pintu kamarku. Ia tersenyum dan duduk diatas ranjang, disebelahku. Aku melanjutkan kegiatanku tanpa memedulikannya.
“Menurutmu bagus?” tanyaku perlahan. Aaron mengangguk. “Aku bahkan tidak tau kau sudah menjadi model untuk ratusan pakaian, butik-butik besar di New York, Elle.”
“Kau tidak tau?” ulangku heran. Ucapan Aaron menamparku dengan keras. Saat mengalami masa-masa indah ini, masa-masa dimana aku seperti berada diatas awan, aku sama sekali tak mengingat Aaron dan Papa.
“Kau cantik disitu,” komentar Aaron. “Meski aku lebih menyukaimu seperti sekarang ini. Di foto ini, kau bahkan sama sekali tidak terlihat seperti gadis 17 tahun.”
Aku terdiam. Mungkin, Aaron benar. Di foto yang kini ditampilkan di layar MacBook-ku, aku mengenakan koleksi musim dingin Gucci. Kalau dibandingkan dengan diriku saat ini, aku memang terlihat… berbeda. Sama sekali tidak seperti gadis-gadis remaja yang selama ini sudah kulihat di Laverne Lawn, mereka yang bebas jalan-jalan sambil tertawa walaupun masih dalam seragam sekolah mereka. Tak heran setelah seminggu disini, aku masih belum bisa mendapatkan teman. Padahal Papa bilang, orang desa biasanya lebih mudah bergaul.
Yah, kecuali Milo. Sejak pertemuan pertama kami, aku belum bertemu dengannya lagi.
“Aaron, kok kamu baik-baik saja sih tinggal di tempat seperti ini?” tanyaku. “Masa’ kau tidak pernah merasa kesal atau—yah, jenuh?”
“Kenapa aku harus jenuh selama aku punya Ally?” guraunya. Aku tertawa. Ally yang dimaksud Aaron bukan nama seorang gadis, tapi Ally dalam arti sebenarnya—pendamping. Ally adalah sebuah kamera DSLR yang sudah Aaron miliki selama beberapa tahun terakhir ini—sejak ia memutuskan untuk memperdalam hobinya dalam fotografi. Kamera ini, kurasa, adalah satu-satunya barang berharga yang Aaron miliki.
Karena aku tak menjawab, Aaron berujar, “Desa ini menawarkan banyak pemandangan indah untuk ditangkap lensa kameraku. Spot paling bagus untuk memotret adalah atap rumah ini, tentu saja. Walaupun, tentu saja, pemandangan kota-kota besar dengan segala kemewahannya memang menarik, tapi—“
“Kau orang yang suka kesederhanaan,” sambungku. Aku kenal baik dengan sifat Aaron yang satu ini. Aaron memang banyak mewarisi sifat Papa yang lain—ia orang yang tenang, easy going, tidak terlalu menunjukkan emosi yang sedang ia rasakan, dan protektif. Seorang kakak yang menyenangkan, walaupun aku dan dia tak sedekat dulu lagi.
“Aaron, kenapa aku diminta pulang kesini?” pertanyaan yang sudah lama terpendam di benakku akhirnya kukeluarkan. Aaron menghela nafas dan bangkit berdiri. Ia menarik kepalaku kedalam dekapannya dan mengusap rambutku dengan pelan.
“Karena aku merindukanmu.”
Aku percaya Aaron merindukan aku—seperti aku percaya bahwa aku ternyata sangat merindukannya juga. Tapi aku tidak percaya kalau itu satu-satunya alasan Aaron dan Papa memintaku kembali ke Laverne Lawn.
Kuharap, keputusanku menjadi model itu tidak salah.
Kuharap, Aaron tak menyembunyikan apapun dariku.
Kuharap…
Kuharap, aku bisa bertemu Milo lagi.
Aku membuka mataku. Ah, aku lupa menyebutkan satu permintaan lagi—kuharap, tak ada warga desa yang melihatku melakukan hal bodoh ini.
Harapan keempatku langsung digagalkan suara langkah kaki seseorang yang berhenti tepat di belakangku.
“Kau percaya pada kolam ini?”
Milo… Aku menatap batu ketiga yang kulemparkan didasar kolam. Aku bukan tipe orang yang percaya kalau dibawah langit ini ada sesuatu yang disebut ‘kebetulan’. Jadi…?
“Aku—“ aku tergagap. Kuharap pipiku tak semerah yang kubayangkan. “Tidak. Tentu saja tidak.”
“Lalu kenapa kau disini?” goda Milo sambil mengambil sebutir batu di tanah. Aku memandangnya. “Kau sendiri percaya?”
Milo menimang-nimang batu itu di tangannya, lalu melemparnya kedalam kolam. “Tidak,” ucapnya, “tapi bermain lempar-melempar seperti ini lucu juga.”
“Jangan konyol,” tukasku. Milo kemudian menjadi lebih bersungguh-sungguh. “Kalau benar kolam ini bisa mengabulkan permintaan, hidup menjadi tidak seru lagi, kan?”
Aku mengangkat bahu tanda tak mengerti.
“Bayangkan kalau kolam ini benar-benar ajaib. Siapa lagi yang mau bersusah payah mencari nafkah? Siapa lagi yang mau repot-repot merubah sifat buruk mereka? Siapa lagi yang mau berusaha menjadi yang terbaik yang mereka bisa?”
Aku terdiam. Ternyata Milo memilikki jangka pikiran yang panjang. Aku menatap permukaan kolam itu. Lalu Milo tertawa kecil, “Tapi aku hanya bercanda. Kurasa, kalau takhayul yang kudengar di desa ini benar—kolam ini memilikki indera. Kurasa kolam ini bisa menentukan, permintaan mana yang ingin ia kabulkan, dan mana yang tidak.”
“Kalau begitu kolam ini jahat,” bantahku. “Jahat dan pemilih.”
“Tidak keduanya,” ujar Milo. “Ia pasti tau siapa yang pantas mendapatkan keinginannya, dan siapa yang belum menemukan mimpi yang sesungguhnya ia bisa dapatkan. Sekali lagi, itupun kalau takhayul ini nyata.”
“Jadi ceritakan lebih banyak tentang dirimu,” pinta Milo. Aku menengadah untuk menatapnya. “Diriku?”
“Pasti ada banyak kisah dibalik kenapa seorang gadis sepertimu harus datang kesini,” desak Milo. Aku mendengus. “Dan pasti ada banyak alasan kenapa seseorang sepertimu datang kesini.”
Milo mengusap hidungnya dengan ujung jari. “Ceritaku panjang. Ceritamu?”
“Pertanyaan macam apa itu? Aku bisa membuat sebuah cerita panjang menjadi menarik untuk didengar,” sergahku. Milo tertawa, lalu memberi isyarat dengan satu anggukan supaya aku mengikutinya.
“Berani taruhan, caraku membuat ceritaku menarik untuk didengar pasti kalah dengan caramu. Ayo, ikut aku.”
Bab 4
Aku mengernyit ketika mencium bau tajam yang begitu menusuk hidung. Aku langsung mundur selangkah. “Milo, ini… Istal?”
“Yang cukup mengejutkanku adalah kau mengenal kata ‘istal’,” gurau Milo sambil menarik pintu kayu istal itu agar terbuka. Bau yang ternyata adalah bau kuda itu semakin kuat sehingga aku harus menutup hidungku ketika masuk kedalam. Milo meringis. “Kalau kau tidak tahan, kau selalu bisa menunggu diluar, Missy.”
Diselamatkan oleh kalimat itu, aku langsung berlari keluar dan membersihkan paru-paruku dengan udara sore sebanyak mungkin. Tak lama kemudian, Milo menggiring dua ekor kuda keluar dari istal. Kuda pertama seekor kuda besar berwarna cokelat gelap. Kuda kedua ukurannya jauh lebih kecil, tapi bentuk tubuhnya tetap bagus dan ramping. Dari matanya yang cokelat lembut dan surainya yang putih bersih, aku bisa menebak kalau ia seekor kuda betina.
“Mabel sangat bersahabat,” Milo tertawa. “Sementara Knight—dia kuda kesayanganku.” Dengan satu lompatan, Milo sudah berada diatas Knight. Aku menatap kuda putih bernama Mabel itu dengan segan. Menaikki kuda seperti Milo tadi? Tidak mungkin. Satu-satunya kuda yang pernah kunaikki adalah kuda-kudaan di taman bermain sewaktu aku masih kecil. Kini Milo malah terlihat seperti salah seorang pangeran atau kesatria tangguh di abad pertengahan, seperti pangeran tampan yang pernah kulihat di film yang judulnya tak kuingat lagi.
Apa aku baru saja membandingkan Milo dengan seorang pangeran tampan?
“Kau tak bisa naik keatas kuda?” tanya Milo. Aku menatapnya sambil menutupi sinar matahari yang menyilaukan dengan sebelah tanganku. Karena aku tak menjawab, Milo tertawa dan kembali turun dari punggung Knight. Ia memperagakan cara menaikki Mabel sementara aku memerhatikan dengan acuh tak acuh. Aneh, kuda itu sama sekali tidak memberontak atau menendang Milo saat surainya ditarik Milo sebagai topangan agar ia bisa naik. Milo duduk untuk beberapa detik diatas Mabel, lalu kembali turun dan mempersilahkan aku naik.
“Selalu naik dari sisi kiri,” ujar Milo serius. “Dan jangan takut untuk menarik surai Mabel—atau kuda manapun yang kau akan tunggangi di dunia ini—karena mereka sama sekali tidak bisa merasakan apa-apa saat kau menarik surai mereka. Jepit tubuh Mabel sekuat yang kau inginkan—dengan lututmu, tentu saja.”
Dengan arahan seperti itu, aku berhasil naik keatas punggung Mabel. Kuda itu hanya meringik lembut. Sepertinya ia tau kalau aku hanya seorang newbie di petualangan ini.
“Sekarang,” Milo melompat keatas Knight dan meraih talinya. Knight mulai berjalan. Aku mengawasi caranya menggunakan tali kekang dengan seksama, lalu menirunya. Mabel mulai berjalan. Aku tak sadar Milo sedang memerhatikanku.
“Jangan segugup itu,” katanya ramah. Aku baru menyadari kalau tanganku sedari tadi terus bergetar. Bagaimana aku bisa tenang kalau makhluk mengerikan ini bisa membuatku terjatuh dari tubuh raksasanya kapan saja? Sambil terus memanjatkan doa dan mazmur dalam hati, aku mencoba mengikuti arah Knight dan Milo.
“Kau cukup cepat belajar,” puji Milo. Sepertinya kami sudah sangat jauh dari istal. Dimana-mana terlihat pegunungan hijau. Udara yang sejuk ini sepertinya berarti kami sudah berada di dataran tinggi. Aneh, aku sama sekali tidak merasa sedang melakukan perjalanan mendaki. Mungkin ini karena berada diatas tubuh Mabel sendiri sudah membuatku merasa begitu tinggi sehingga pendakian itu sama sekali tidak terasa.
“Kita berhenti disini saja,” Milo menarik tali kekang. Knight berhenti berjalan, dan Milo pun meluncur turun. Ia mengulurkan tangannya padaku. “Kalau kau tidak keberatan—“
“Terima kasih,” aku menyambut uluran tangannya dan turun. Turun dari punggung kuda ternyata merupakan ketegangan baru, sehingga aku tidak sempat merasa segan saat kedua tangan Milo menahan tubuhku agar tidak jatuh tersungkur. Kami duduk di kursi panjang yang terbuat dari batu.
“Aaron pasti sering kesini,” gumamku tanpa sadar.
“Siapa Aaron?”
“Ah, kakakku,” jawabku. “Ia sudah lama tinggal disini. Ia fotografer handal, dan paling suka memotret pemandangan-pemandangan alami seperti ini.”
“Sangat berbeda denganmu,” gurau Milo. Aku merengut.
“Kau begitu—sophisticated, dan aku yakin kedua matamu lebih terbiasa dimanjakan dengan pemandangan gedung-gedung tinggi, ribuan sinar lampu kota, tempat-tempat mewah…”
“Kami memang tidak sama,” aku membenarkan. “Tapi ia orang yang sangat baik. Berapa umurmu, Milo?”
“21,” katanya. “Dan kau?” Aku mencabuti rumput liar yang tumbuh di sisi-sisi bangku itu dan memainkannya. “17…”
“17?” katanya, hampir berseru. “Kau memang—“
“Aaron juga bilang aku tidak terlihat seperti usiaku yang sebenarnya,” potongku datar. “Bukan hanya terlihat, tapi sikapmu juga tidak seperti anak ingusan yang baru 17 tahun,” aku Milo. “Dan apa, Aristelle, yang menyebabkanmu kembali disini?”
Aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Baiklah, malaikat—dan baiklah, kolam. Jika aku memang tidak ingin kesepian lagi selama di Laverne Lawn, kurasa aku harus mulai membuka diri. Sepertinya, aku harus menceritakan kisahku pada Milo.
“Giliranku,” kata Milo setelah aku menceritakan sedikit tentang hidupku dan bagaimana aku selalu risih karena tak tau kenapa aku dipaksa pulang ke Laverne Lawn. Ia mendesah. “Seperti yang kau tau, aku sempat tinggal di Barcelona. Setelah itu, saat usiaku kira-kira 15 tahun, aku pindah ke Boston. Sejak di Barcelona dan sampai aku tinggal di Boston, aku sudah menekuni hobiku dalam bermain musik.
“Aku tidak punya minat untuk membuat namaku dikenal seluruh dunia. Jadi aku hanya bekerja di restoran-restoran besar serta hotel-hotel kelas atas di Boston. Sama sekali tidak sulit untuk membuat mereka menerimaku, karena aku memilikki ijazah pendidikan musik sewaktu di Barcelona. Karirku menunjak, beberapa musisi ternama pun sempat mengundangku untuk menjadi opening act di konser-konser mereka di sekitar Amerika.
“Kemudian, aku menjadi jenuh. Rutinitas keliling Amerika dan terkadang keliling dunia, lalu menghabiskan berjam-jam di restoran atau hotel dimana para pengunjungnya sendiri tidak terlalu memerhatikan permainanku, lalu baru kembali pulang saat malam sudah larut, semuanya itu terlalu berat untuk dicerna otakku. Jadi aku memutuskan kalau aku sudah bosan dengan gaya hidup di kota besar seperti Boston.
“Laverne Lawn bukan tempat tinggalku atau kampung halamanku. Aku hanya mencari tempat yang sunyi, jauh dari perkotaan, tempat dimana aku bisa memulai gaya hidup baru dan bersantai—berlibur. Kebetulan, pamanku tinggal disini. Istal tadi dan kuda-kuda ini, semuanya miliknya. Ia juga memilikki rumah kecil yang cukup memadai untuk kutinggali. Pamanku sendiri sekarang berada di Kanada, dan ia langsung setuju ketika aku bermaksud menyewa tempat tinggalnya untuk beberapa waktu. Aku sudah menetap disini selama dua tahun.”
Milo mengakhiri kisahnya dengan satu helaan nafas panjang. Aku menatapnya sambil tersenyum tipis. “Jenuh dengan kehidupanmu… mencari suasana baru? Kedengarannya menarik.”
“Memang. Aku lebih memilih tempat seperti ini daripada kehidupan Boston yang begitu… hectic,” adalah jawaban yang kuterima. “Inikah alasan kenapa kau memilih merubah gayamu menjadi—cowboy look-a-like seperti ini?” aku tertawa.
“Apa maksudmu cowboy look-a-like?” Milo berdiri. Aku tertawa lagi. “Maksudku gaya berpakaianmu dan segala macam—kau sama sekali tidak akan menarik hati seorang gadis desa kalau kau terus-terusan berpenampilan serampangan seperti itu, Tuan.”
“Oh, jadi model terkenal New York ini ingin mengajariku soal fashion?” gurau Milo. “Aku meninggalkan pakaian-pakaian terbaikku di Boston.”
“Jadi yang kau sisakan disini hanya kemeja-kemeja polos, beberapa kemeja kotak-kotak, baggy jeans, dan sepatu butut?” godaku. Milo menusuk pinggangku dengan satu jari. “Jangan menghinaku,” katanya. “Tapi kau baru saja memberiku ide.”
Aku melongo.
“Sudah cukup lama aku tidak melihat suasana perkotaan. Aku yakin kau juga begitu, meskipun baru seminggu disini. Kurasa kau pasti ingin berjalan-jalan sedikit, kan?”
Harapan baru membuncah dalam benakku. “Lalu?”
“Lalu kau, kau jenuh dengan tempat seperti ini. Aku yakin kau belum tau ada banyak hal seru dan tak terlupakan yang bisa kau lakukan di Laverne Lawn—dan aku bisa menunjukkannya padamu.”
“Apa kita sedang membicarakan sebuah kontrak yang saling menguntungkan disini?” tanyaku penuh semangat. Mata Milo berbinar-binar. “Aku akan menunjukkanmu sisi indah Laverne Lawn—selain tempat ini, tentu saja—dan setelah itu kita akan ke kota untuk sedikit mencari suasana baru. Cukup adilkah?”
Aku memekik senang dan mencengkram kedua bahu Milo dengan tanganku, meskipun itu membuatku harus menjinjit sedikit. “Itu kontrak terbaik yang pernah kudapatkan! Milo! Kita langsung lakukan besok.”
“Besok?” ulang Milo. Aku mengangguk, berkobar dengan semangat. “Ya. Pagi hari kau akan menunjukkanku seisi Laverne Lawn—setelah itu, kita bisa ke kota. Shoot, kuharap kau tidak menyuruhku berjalan kaki—atau berkuda!—untuk mencapai kota.”
“Tentu saja tidak,” kata Milo langsung. “Ada Mustang tua milik pamanku yang bisa kita pakai, kok. Itu pun kalau kau tidak keberatan melakukan perjalanan tanpa AC dan radio.”
Bayangan itu sedikit membuatku mengernyit ngeri, tapi akhirnya aku setuju.
Aku tak sabar menunggu besok.
Bab 5
“Lama sekali,” gumamku sambil melepaskan kuncir rambutku dan mengikatnya lagi. Aaron yang sedang berada di meja makan sambil meneguk secangkir teh hanya tersenyum. “Itu akibat merahasiakan acaramu hari ini padaku. Nah, jemputanmu—siapapun itu—takkan datang.”
“Aaron!” bentakku dari tempatku berdiri sekarang, di ambang pintu depan. Aaron meletakkan cangkirnya. “Aku tidak tau kau sudah punya kenalan selama disini.”
“Hanya satu,” akuku jujur. “Tampan?” celetuk Aaron langsung.
“Bagaimana kau tau ia seorang laki-laki?” tukasku malu. Aaron tertawa. “Karena kau adikku dan aku tak yakin kau akan uring-uringan seperti ini kalau kawan perempuanmu terlambat menjemputmu. Jadi, kau tidak akan mengenalkannya padaku atau Papa? Wah, wah.”
“Ia hanya teman biasa,” kataku cepat. Detik berikutnya terdengar suara berderum keras. Aku melihat sebuah Mustang keluaran 1970 berwarna abu-abu terparkir di pekarangan rumah ini. Seulas senyum mengembang di wajahku. “Milo!”
Aku membuka pintu sebelum Milo sempat mengetuknya. “Nah, kau terlambat.”
“Mobilnya sedikit bermasalah,” ia membela diri. “Dan, eh, halo—“
“Aaron,” aku menarik tangan Milo supaya ia berjalan kearah Aaron, yang sudah berdiri. “Milo, ini kakakku, Aaron. Dan Aaron—ini Milo.”
Mereka saling bertukar sapa dan memulai percakapan singkat. Aku memotongnya dengan cepat. “Aaron, kalau ada yang perlu kau bicarakan, nanti saja. Aku harus pergi. Iya kaaan, Milo?”
“What she said,” Milo menunjukku dengan pasrah. Aaron tertawa. “Baiklah,” katanya. “Semoga hari kalian menyenangkan. Dan—Elle.”
“Hm?”
“Jangan pergi terlalu lama.”
Aku tak menjawab. Aku memang tidak yakin aku bisa memenuhi permintaan yang satu itu.
“Jadi, kita kemana?” tanyaku saat sudah berada didalam mobil. Ternyata Milo pengemudi yang lumayan handal. Ia berhasil mengemudi melewati jalanan Laverne Lawn yang berbatu-batu tanpa masalah. Keadaan Mustang itu cukup nyaman, meskipun—seperti kata Milo kemarin—mobil ini tak lagi dilengkapi fasilitas AC dan radio. Jadi aku menyalakan ponselku dan memutar beberapa lagu untuk mengisi suasana.
“Sebenarnya akan lebih seru jika kita naik kuda, apalagi berpacu di pagi berangin seperti ini—tapi aku yakin kau belum berani berpacu. Jadi tak ada salahnya juga pergi dengan mobil ini.”
“Sama sekali tidak salah,” aku mengangguk sambil bersyukur dalam hati. Milo menginjak rem dan mobil berhenti. Ia mengambil sebuah saputangan putih. “Bisa maju sedikit?”
“Apa yang kau lakukan?” aku mencoba berontak, karena Milo menutup kedua mataku dengan saputangan itu tanpa peringatan. “Tidak terlalu kencang, bukan?” Milo mengikat ujung saputangan itu. “Baik, kita bisa lanjutkan petualangannya.”
“Kau jahat,” omelku sepanjang perjalanan. Entah setelah berapa menit—atau jam, karena jika berbincang dengan Milo waktu sama sekali tak bisa diterka—akhirnya mobil kembali berhenti. Aku mendengar suara pintu dibuka. Beberapa detik kemudian, pintu disebelahku terbuka. Aku mencari-cari tangan Milo yang sudah terulur untuk membantuku keluar.
Udara disini jauh lebih sejuk dari biasanya, dan aku bisa mendengar suara-suara alami seperti pergerakan pohon yang tertiup angin. Beberapa burung sepertinya sedang bernyanyi. Ada suara gemericik air yang menyenangkan. Milo melepaskan ikatan saputangannya dari mataku, dan aku langsung bisa melihat pemandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Ada air terjun! Air terjun terpanjang, terindah, dan terbening yang pernah kulihat dalam hidupku. Air terjun itu mengalir dalam garis yang nyaris lurus sempurna, mengalir dengan deras kedalam sebuah kolam besar yang dipagari batu-batu besar berpermukaan halus. Sinar matahari yang memancar kearahnya membuat semacam pelangi terbentuk di air terjun itu. Aku menatap Milo tanpa bisa berkata-kata, dan Milo membalasnya dengan senyum lebar. Ia mengambil sebuah topi ala cowboy dari kursi belakang Mustang-nya dan memakaikannya di kepalaku.
“Siang ini akan panas,” ujarnya. “Jadi kurasa tak ada tempat yang lebih baik dari air terjun ini untuk menyegarkan diri.”
“Apa maksudmu menyegarkan diri?” tanyaku bingung. Milo melangkah ke air terjun itu dan detik berikutnya, menyipratkan air ke bajuku. Aku memekik kaget, lalu mengejarnya. Tapi langkah kakiku terlalu canggung sehingga bukannya mendarat diatas batu-batu seperti yang dilakukan Milo, aku malah terjatuh kedalam kolam air terjun itu.
“Bodoh sekali.”
“Menyebalkan!” gerutuku sambil memuntahkan air yang masuk kedalam mulutku. Aku meraup air sebanyak mungkin dan mengarahkannya pada pakaian Milo, tapi ternyata anak kurangajar itu sudah lebih dulu berlari. Ia berada tepat dibelakangku, di dalam kolam, dan menarik tanganku dengan keras sehingga aku kembali tenggelam kedalam air yang dangkal.
“Aku akan membalasmu,” ancamku sambil menarik kakinya agar tergelincir. Suara-suara ‘alami’ yang sempat kutuliskan tadi tidak lagi terdengar, dikalahkan oleh suara teriakan dan tawa kami.
“Kini aku mengerti kenapa kau menyuruhku membawa pakaian ganti,” aku masuk kedalam mobil Milo setelah berganti pakaian dibalik semak-semak yang ditunjukkan Milo, yang memilih berganti pakaian didalam mobil. Ia tertawa. “Tapi kau senang, kan?”
“Ya,” ujarku sambil tersenyum. “Terima kasih.”
“Aku akan melakukan apapun yang kau mau agar senyummu bisa tetap seperti itu.”
“Apa?”
“Kata-kata macam apa itu tadi?” gumam Milo pada dirinya sendiri dengan sangat tidak jelas. Lalu padaku ia berkata, “Lupakanlah. Sekarang giliranmu.”
“Kita ke kota?” aku menatap matahari di langit. Kurasa sekarang sudah diatas jam 12 siang. Milo meletakkan tangannya di kemudi. “Ya.”
Nama kota yang kami kunjungi bernama Knoxville. Memang bukan kota yang luar biasa seperti New York atau Boston, tapi setidaknya tidak ada dataran hijau yang berlebihan dan suara-suara kendaraan lebih mendominasi kali ini. Kami mengunjungi sebuah mal kecil yang cukup ramai. Sesuai rencana, aku mulai melancarkan ancang-ancang untuk memperbaiki penampilan Milo. Kami mengunjungi setiap toko baju yang ada. Milo sudah keluar-masuk fitting room selama lusinan kali sementara aku bertindak sebagai semacam fashion police. Karena menjadi model, tentu saja, telah membuatku jatuh cinta pada dunia fashion dan melihat seseorang yang sedang berada dalam fashion disaster menjadi kedukaan tersendiri untukku.
“Ini banyak sekali,” Milo seolah tidak percaya ketika akhirnya kami selesai berbelanja. Ia menenteng dua kantung besar berisi pakaian baru sementara aku menenteng satu untuk menolongnya. Ada restoran yang terlihat cukup nyaman di mal itu, jadi kami memutuskan untuk masuk dan merenggangkan otot yang sedari siang sudah bekerja keras.
“Well, rencana hari ini berjalan cukup sukses,” Milo menggigit sandwich pesanannya dengan lahap. Ia melihat sekeliling restoran yang sepi itu. Mungkin karena saat itu baru pukul 6 sehingga belum banyak pengunjung yang hendak makan malam, atau mungkin karena restoran itu jauh lebih mahal daripada restoran-restoran tetangganya. Ada panggung ditengah-tengah restoran itu, tapi sepertinya pengisi acara malam ini belum datang.
“Membosankan, bukan?” Milo menyuarakan isi pikiranku. Aku mengangguk setuju. Yang tak kusangka-sangka adalah Milo yang bangkit berdiri dan berjalan kearah seorang waiter yang berdiri didekat panggung. Ia membisikan sesuatu padanya, dan kulihat waiter itu mengangguk. Dengan acuh tak acuh, Milo naik keatas panggung yang rendah itu dan duduk di kursi hitam tinggi yang sepertinya memang diletakkan khusus untuk penyanyi restoran.
Pengunjung-pengunjung yang jumlahnya memang sangat sedikit mulai memerhatikannya. Aku pun melakukan hal yang sama. Seorang waiter lain menyodorkan gitar pada Milo. Oh, jadi Milo juga bisa bermain gitar?
“Apalah arti makan malam tanpa musik pendamping?” gurau Milo dengan nada santai seperti biasa. “Kuharap kalian—dan teman makanku malam ini—akan menikmati ini.”
Ia mulai memetik gitar dengan lembut, memainkan nada-nada yang—lagi-lagi—kukenal dengan baik. Hatiku melompat dan tanpa terasa aku tersenyum ketika ia mulai bernyanyi,
I opened my eyes,
Last night
And saw you in the low light
Walking down by the bay,
On the shore
Staring up at the planes
That aren't there anymore
I was feeling the night,
Grow old
And you were looking so cold
Like an introvert,
I drew my overshirt
Around my arms
And began to shiver violently before
You happened to look,
And see
The tunnels all around me
Running into the dark underground
All the subaways around
Create a great sound
To my motion fatigue:
Farewell
With your ear to a seashell
You can hear the waves,
In underwater caves
As if you actually were
Inside a saltwater room…
Jeda. Milo mulai mengisi kekosongan lagu itu dengan petikan-petikan gitarnya. Pengunjung restoran ini agaknya menikmati penampilannya—dan aku? Aku bahkan nyaris lupa bernafas, terutama saat Milo memasukki bagian refrain lagu ‘Saltwater Room’ itu.
Time togther is just never quite enough…
When you and I are alone,
I've never felt so at home
What will it take to make or break this hint of love?
We need time…
Only time…
When we're apart,
Whatever are you thinking of?
If this is what I call home,
Why does it feel so alone?
So tell me darling,
Do you wish we'd fall in love?
All the time,
All the time…
Milo mengangkat wajahnya dan menatap tepat kearahku. Aku merasa seolah-olah ia mencoba memberitahuku untuk mendengarkan nyanyiannya dengan seksama. Aku mengangguk, dan ia kembali bernyanyi,
So tell me darling,
Do you wish we’d fall in love?
All the time…
Bab 6
Lagu Owl City itu membawa pengaruh yang cukup serius. Dalam perjalanan pulang, kami sama sekali tidak berbicara. Akhirnya, aku menepuk pundaknya. “Milo. Berhenti sebentar dan lihatlah keatas.”
Aku berhasil membuat Milo tercengang-cengang. Langit malam itu, entah dalam rangka apa, dihiasi kembang api dalam aneka warna dan bentuk. Pemandangan indah itu berlangsung selama beberapa menit, dan setelah hujan kembang api itu berakhir, Milo menoleh kearahku.
“Pertunjukan kembang api itu memang bukan rencanaku, tidak seperti kamu yang sudah merencanakan Mustang ini, air terjun di Laverne Lawn, dan lagu tadi untukku. Tapi kuharap kau—“
“Jawablah pertanyaanku,” kata Milo tiba-tiba. “Pertanyaan… apa?”
“Do you wish we’d fall in love?” ia mengulang kata-kata itu. Debar jantungku meliar. Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi lidahku terasa kelu. Akhirnya, aku mengangguk perlahan. Milo melepaskan tangannya dari kemudi dan memelukku. Saat itu, kalau boleh bersifat sedikit hiperbolis, aku merasa seperti gadis paling beruntung di dunia.
Mustang Milo kembali melaju cepat. Tapi perasaan bahagiaku tidak bertahan lama, entah kenapa. Ada apa ini? Aku sangat yakin kalau aku sungguh-sungguh dengan perasaanku terhadap Milo. Tapi hatiku berkata lain. Ada sebuah perasaan aneh yang merasuk kedalam benakku. Aku mengecek ponselku dan baru sadar ponsel itu mati. Aku mengumpat.
“Ada apa?” tanya Milo tenang. “Baterenya habis,” aku menunjukkan layar ponselku yang mati pada Milo. “Milo, bisa… cepat sedikit? Aku—aku ingin cepat pulang.”
Milo langsung menginjak pedal gas lebih kencang. Beberapa saat kemudian, gedung-gedung tinggi dan suara lalu lintas yang hiruk pikuk langsung digantikan dataran hijau dan suasana hening. Milo berhasil menemukan arah kembali ke rumahku tanpa tersesat.
Aaron berdiri diluar rumah dan aku tidak bisa menebak apa yang terjadi karena raut wajahnya begitu pucat.
“Aku pulang,” kataku ringan. Aaron meletakkan kedua tangannya di bahuku. “Aaron? Ada apa?”
Milo tiba disebelahku. Aku yakin ia pun merasakan ketegangan yang kurasakan. Aaron berkata pelan, “Kemana saja kau seharian? Aku mencoba menghubungimu sejak berjam-jam yang lalu.”
“Ponselku mati,” aku meminta maaf. Aaron tak menanggapi. Aku tersentak kaget ketika kulihat sebutir air mata mengalir di pipinya. Aaron menangis?
“Papa sudah meninggal.”
“Tidak mungkin,” aku menangis di pelukan Aaron. Kurasakan tangan Milo mengusap pundakku dengan lembut. “Jangan membohongiku, Aaron! Tak mungkin Papa pergi begitu saja!”
“Ia tak pergi begitu saja,” ucap Aaron. “Itu alasan kami menyuruhmu pulang. Karena sebenarnya sudah lama Papa menderita kerusakan hati. Dan kami tak pernah bisa membayar biaya pengobatan untuknya.”
“Dan kalian tidak pernah memberitahuku?” aku kembali terisak. Kalau ini mimpi buruk, tolong bangunkan aku sekarang. Aku mencubit-cubit lenganku berkali-kali, tapi tak ada yang terjadi. Mimpi ini terus berlangsung, dan semakin lama terasa semakin nyata. Papa sudah tiada. Aku bahkan tidak sempat melihatnya di saat terakhirnya. Aku bersikap kasar padanya semenjak pertama kali tiba disini. Padahal aku mampu membiayai pengobatan Papa. Aku benar-benar jahat…
“Papa ingin memberitahumu, tapi ia tak ingin membuatmu semakin gusar,” ujar Aaron. “Papa baru saja hendak memberitahumu hari ini, karena aku berkata padanya kalau kau sudah banyak berubah sejak mengenal Milo. Tapi kau pulang terlalu larut dan Papa—“
“Aku bodoh! Aku sangat bodoh,” raungku sambil terus menangis. “Kenapa aku membiarkan ini semua terjadi? Aku…”
“Aristelle,” kata Milo. “Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Tak ada yang bisa kau lakukan untuk menghentikan semua ini.”
Aku melepaskan diriku dari pelukan Aaron. Hari ini begitu indah—tapi semuanya harus berakhir seperti ini.
Berakhir seperti ini karena salahku, karena aku memang sangat—sangat—bodoh.
Seminggu sudah berlalu sejak pemakaman Papa. Tidak ada yang berubah. Aku tidak pernah bertemu dengan Milo lagi karena aku mengurung diri didalam kamar. Sesekali Aaron datang, tapi aku tetap tidak mengubah sikapku. Aaron bilang Milo tidak datang karena ia merasa bersalah atas kejadian ini. Aaron sama sekali tidak marah padanya—keduanya malah telah bergaul akrab—tapi aku, aku belum bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri.
“Elle,” panggil Aaron dari luar. Aku tidak bangkit dari ranjang, hanya bergumam, “Masuklah,” dan membenamkan wajahku yang basah karena air mata kedalam bantal.
“Aku tak berniat mengganggumu,” ujar Aaron lembut. “Tapi periksalah ponselmu, sekarang juga.”
Aku mengangkat bantal dari wajahku dan menatapnya, tapi aku langsung membuang muka begitu sadar kalau wajahku pasti kusam, kotor, merah dan penuh air mata. Aaron tersenyum kecil. “Papa sudah bersatu dengan Mama disana,” adalah kalimat terakhir yang ia katakan sebelum meninggalkanku.
Aku menyalakan ponsel yang sudah berhari-hari kubiarkan mati. Tidak ada pesan atau missed call, tapi ada voicemail. Dari Milo. Aku mendekatkan ponsel ke telingaku.
Ada suara tuts piano dimainkan dengan nada lembut. Apa-apaan ini? Setelah itu, aku mendengar suara yang sangat kurindukan tepat disamping telingaku.
Spend all your time waiting…
for that second chance…
for a break that would make it okay…
there's always one reason,
to feel not good enough,
and it's hard at the end of the day…
I need some distraction,
oh beautiful release,
memory seeps from my veins…
let me be empty,
and weightless and maybe
I'll find some peace tonight…
Aku menangis lagi. Menangis karena mendengar suara Milo. Menangis karena lagu yang begitu mencerminkan perasaanku saat ini. Menangis karena Milo menyanyikan ini untukku.
in the arms of an angel,
fly away… from here…
from this dark cold hotel room,
and the endlessness that you fear…
you are pulled from the wreckage,
of your silent reverie…
you're in the arms of the angel,
may you find,
some comfort here…
You’re in the arms of the angel,
May you find,
Some comfort, here…
Bab 7
“Kau akan ke New York?”
“Ya,” angguku pasti. “Aku tak mungkin selamanya bersedih disini, bukan? Life must go on… Aku butuh hidupku kembali.”
Milo mendesah. “Bagaimana dengan Aaron?”
“Ia akan ikut denganku,” senyumku. “Itu kejutannya. Aku sudah meyakinkannya. Karya-karya fotografinya harus dilihat dunia. New York tempat yang tepat untuk memulai karir profesionalnya, bukan?”
Beberapa saat, Milo tak menjawab. Lalu, “Kurasa aku juga sudah cukup menikmati sisi lain kehidupan. Saatnya melanjutkan hidupku yang sebenarnya.”
“Di Boston?” tanyaku. Ia mengangguk. “Tentu saja.”
“Sampai… kapan?”
“Tentu saja sampai aku jenuh dengan kehidupan Boston dan kembali kesini lagi,” kata Milo dengan riang. “Aku yakin kau juga akan begitu, kan?”
Aku mengangguk pelan. “Jadi kita…”
Milo memelukku. “Masih banyak urusan yang harus kau selesaikan, begitu juga denganku. Kita tidak mau jadi batu sandungan untuk satu sama lain, bukan?”
“Milo…”
“Beri aku waktu tiga tahun. Setelah itu, kita akan bertemu lagi—disini. Di Wish Pond.”
“Kau masih percaya akan tempat itu,” aku tersenyum muram. Berpisah dengan Milo bukanlah hal yang kuinginkan. Milo tertawa. “Setidaknya permintaanku dikabulkan. Ingat hari aku menjemputmu dengan Mustang-ku? Aku terlambat karena aku harus membuat permintaanku dulu.”
Aku menampar bahunya dengan pelan. “Konyol!”
“Aku hanya meminta supaya aku bisa membuatmu senang hari itu. Dan aku meminta supaya kau bisa—mencintaiku.”
“Hanya dua permintaan?”
“Oh ya, dan supaya kita bisa terus bersama.”
“Kurasa permintaan ketiganya tak terkabulkan,” aku menatap Aaron yang sedang membereskan barang-barang kami dan memasukkannya kedalam kardus besar. Di satu sisi, aku sangat bahagia akan kembali ke New York, tapi meninggalkan Milo… sounds like no good.
“Aku yakin akan dikabulkan,” angguk Milo. “Kita akan bertemu lagi. Aku berjanji. Dan sampai saat itu, kuharap perasaanmu padaku tidak akan berubah.”
Aku memberanikan diri mencium pipinya dengan lembut. “Tidak akan pernah.”
Summer after high school when we first met,
We make out in your Mustang to Radiohead,
And on my 18th birthday we got that chain tattoos
Used to steal your parents' liquor and climb to the roof,
Talk about our future like we had a clue,
Never plan that one day I'd be losing you
Aku menoleh kearah Aaron yang memegang kemudi Chevy1986 kami. Ia melihatku dan tersenyum. “Jangan semuram itu,” katanya. Aku memutar tombol volume di radio yang sedang menyala dan memejamkan mata.
In another life, I would be your girl…
We keep all our promises,
Be us against the world…
And in other life, I would make you stay…
So I don't have to say, you were the one that got away,
The one that got away…
“Katy Perry, ya?” tanya Aaron iseng. Aku membuka mataku dan menggeram pelan. “Jangan menggodaku.”
“Lagu ini bagus,” komentar Aaron. “Memang.”
All these money can't buy me a time machine, no
Can't replace you with a million rings, no
I should've told you what you meant to me…
'Cause now I pay the price…
In another life, I would be your girl…
We keep all our promises,
Be us against the world…
And in other life, I would make you stay…
So I don't have to say, you were the one that got away,
The one that got away…
“Satu kesempatan terakhir!” seru Aaron tiba-tiba. Kami berhenti didekat Wish Pond dan Aaron memperlambat jalannya mobil. Aku menatap patung malaikat itu sambil tersenyum kecil.
”Terima kasih sudah mengabulkan permintaanku. Semuanya.”
Epilog
“Aku datang.”
Gadis itu menoleh dengan kaget. Menatap sosok yang jauh lebih tinggi daripadanya, sosok yang nyaris tak terlihat karena gelapnya malam. Tapi saat sosok itu kian mendekat, Aristelle bisa menerka dengan tepat kalau itu Milo.
Itu alasannya kembali ke Wish Pond setelah tiga tahun meninggalkan Tennessee.
Aristelle langsung melingkarkan tangannya di leher Milo dan memeluknya erat-erat. Tak ada yang berubah tentang Milo. Dan di belakang Milo, Mustang tuanya masih menunggu dengan setia. Segala kenangan tiga tahun yang lalu itu pun kembali pada Aristelle sehingga ia tertawa.
“Kau kembali.”
“Tentu saja aku kembali. Mau membuat permintaan?”
“Kurasa aku tak perlu membuat permintaan apa-apa lagi,” kata Aristelle heran. Milo membelakanginya, memungut sebuah batu yang—sepertinya—tercecer di tanah. Batu itu besar dan putih, berbeda dengan batu-batu lain. “Ini.”
Aristelle menatap batu itu dengan heran, lalu kemudian ia sadar batu itu memilikki tulisan diatasnya.
I think I wanna marry you…
Aristelle tersenyum penuh haru sebelum melemparkan batu itu kedalam Wish Pond. Ia mengangguk berkali-kali sambil memeluk Milo lagi.
Setelah itu, mereka akan menghampiri Aaron dan meminta restunya.
Setelah itu, mereka akan mengurus pesta mereka.
Setelah itu, Milo akan pindah ke New York City—atau mungkin sebaliknya.
Dan setelah itu? Mungkin membeli rumah besar dengan perapian, lalu mengurus tiga orang anak dan memelihara seekor anjing besar bernama Red.
Dan setelah itu, hidup mereka yang sesungguhnya baru akan dimulai.
T h e . e n d
I did not own any of these—
“What If” – Jason Derulo
“Saltwater Room” – Owl City
“Angel” – Westlife
“The One That Got Away” – Katy Perry
And a line from Bruno Mars’ “Marry You”
If you happen to meet them, tell them I said hey and thanks for making these awesome background songs :D
Thanks for reading!